Rabu, 09 Mei 2012

Pilihan Sendiri atau Murabbi?


 بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ

Ada banyak cerita yang aku dapatkan tentang proses ta’aruf selama ini. Dari sekian banyak cerita, ternyata ada yang sungguh dramatis dan tragis. Seperti apakah ceritanya?
Seperti judul di atas, cerita ta’aruf yang akan diangkat di sini tentang pilihan sendiri atau pilihan murabbi. Ada yang pernah bilang: “Salah ga sih kalo ada ikhwan yang sudah punya pilihan sendiri kemudian mengajukan sebuah nama kepada murabbinya?”

Tentu hal ini tak salah dan tak melanggar syar’i. Ketika memang sudah ada kecenderungan dengan seorang akhwat dan memang sudah siap nikah, maka keberanian mengajukan sebuah nama kepada seorang murabbi bukanlah hal yang tak syar’i. Banyak yang bilang bahwa ketika sudah menunjuk sebuah nama, apalagi misalnya satu organisasi, sering berinteraksi selama ini, khawatir bahwa sudah terkotori dengan hal-hal yang tak suci. Itu semua hanya kekhawatiran yang seharusnya diikhtiarkan dengan menjaga prosesnya.


Apakah proses ta’aruf itu hanya dengan orang yang belum dikenal sama sekali? Ingatkah kita kisah Fatimah dan Ali? Mereka berdua adalah sepupu, sudah saling kenal. Ali mencintai Fatimah karena akhlaq Fatimah yang begitu mulia ketika ia lihat dalam kesehariannya. Begitu pun Fatimah yang ternyata telah mencintai Ali sebelum menikah dengan Ali. Ingatkah pula kita kisah Salman Al Farisi yang berkehendak meminang seorang wanita dengan bantuan Abu Darda? Bukankah Salman memang telah ada kecenderungan terlebih dahulu pada wanita itu hingga akhirnya meminta Abu Darda meminangkan wanita itu untuk Salman? Namun memang pada akhirnya, Salman tak berjodoh dengan wanita itu karena wanita itu menginginkan Abu Darda sebagai suaminya.

Jadi, memang tak salah jika seorang ikhwan sudah memiliki kecenderungan terlebih dulu terhadap seorang akhwat dan berani mengajukan nama kepada murabbinya. Nah kadang yang jadi masalah itu adalah bagaimana mengkomunikasikan hal ini kepada murabbi.
Yuk, simak dua kisah berikut ini.

Ada seorang ikhwan yang sudah memiliki kecenderungan dengan seorang akhwat satu organisasi. Ia pun siap menikah. Namun, dalam prosesnya, ia tak meminta sang murabbi sebagai fasilitatornya, melainkan meminta sang kawan yang menjadi fasilitatornya. Hal ini ia lakukan karena sang murabbi sudah punya proyeksi akhwat untuk ikhwan ini, yang tak lain tak bukan adalah adik sang murabbi sendiri, ada rasa tak enak mungkin. Sebenarnya tak masalah jika murabbi bukan sebagai fasilitator proses ta’aruf, asal dikomunikasikan dari awal. Entah mungkin merasa tak enak dengan sang murabbi, akhirnya ikhwan itu berproses dengan akhwat tersebut lewat jalur ‘swasta’, yang ternyata akhwat ini pun punya kecenderungan yang sama, yang lagi-lagi juga sama, tak mengkomunikasikan dengan murabbinya. Hingga akhirnya menjelang menikah, barulah mereka berdua bilang ke murabbinya.

Lantas bagaimana tanggapan sang murabbi? Murabbi sang ikhwan bilang: “Antum cari aja murabbi lain…”.Jleb. Dalem euy, hingga akhirnya sang ikhwan ‘kabur’ dari lingkaran. Begitu pun dengan sang akhwat, ternyata keluar juga dari lingkarannya. Dan mereka menikah. Namun amat disayangkan karena ternyata pernikahan mereka tak sesuai yang diharapkan. Ikhwan yang di mata sang akhwat begitu dewasa ketika dalam organisasi, ternyata begitu kekanakan dalam rumah tangga. Dan sang akhwat ingin segera bercerai walaupun sudah dikaruniai seorang anak. Huuffh… apakah ini sebuah pernikahan yang tak diridhoi murabbi?

Kisah kedua lain lagi ceritanya. Jika cerita pertama terkesan tak menghargai murabbinya, maka cerita kedua kebalikannya. Ada seorang ikhwan yang sudah siap menikah dan sudah punya kecenderungan dengan akhwat yang sudah dikenalnya. Namun kemudian sang murabbi menawarkan akhwat lain untuk berproses dengannya. Karena sang ikhwan begitu tsiqah dengan murabbinya terkait masalah jodohnya ini, maka ia pun menerima tawaran sang murabbi untuk berta’aruf dengan akhwat pilihan murabbi yang belum ia kenal sebelumnya.

Proses pun lancar hingga akhirnya diputuskan tanggal pernikahan. Namun apa yang dilakukan sang ikhwan sepekan menjelang pernikahannya? Ia mengirim email kepada akhwat yang dicenderunginya itu, mengatakan bahwa ia siap membatalkan pernikahannya jika sang akhwat meminta untuk membatalkannya. Lantas apa reaksi sang akhwat? Akhwat itu hanya bilang: “jangan bodoh Antum, seminggu lagi Antum udah mau nikah, undangan udah disebar, apa ga malu nanti keluarga besar Antum?”

Dan akhirnya ikhwan itu tetap menikah dengan akhwat pilihan murabbinya. Qadarullah, setelah beberapa minggu menikah, sang istri rupanya melihat email yang dikirim sang ikhwan ke seorang akhwat yang dicenderungi sang ikhwan. Kaget luar biasa tentunya dan akhirnya sang istri menemui akhwat tersebut dan bilang: “kenapa mbak ga bilang kalo ikhwan itu udah ada kecenderungan dengan mbak dan begitu pun dengan mbak udah ada kecenderungan dengan dia. Kalo saya tahu, saya akan membatalkan pernikahan saya, mbak…”. Dan entahlah bagaimana kisah selanjutnya.

Ya. Itu dua kisah yang amat dramatis dan tragis tentang sebuah proses ta’aruf menuju jenjang pernikahan. Yang satu punya pilihan sendiri dan mengikuti pilihannya sendiri tanpa mengkomunikasikannya dengan sang murabbi sedangkan yang satunya lagi memilih pilihan murabbi walaupun sudah punya pilihan sendiri, dan lagi-lagi tak mengkomunikasikan tentang pilihan sendirinya ini kepada sang murabbi.
Jika dilihat dua kasus di atas, apa sebenarnya yang menjadi kunci dari masalah ini? K-O-M-U-N-I-K-A-S-I. Ya, komunikasi antara sang ikhwan dan murabbi yang bermasalah. Padahal jika saja hal-hal dalam penjemputan jodoh dikomunikasikan dengan baik kepada sang murabbi, maka tak akan terjadi kisah tragis dan dramatis seperti di atas. Namun karena kisah ini sudah terjadi, maka semoga menjadi pelajaran bagi kita yang mungkin sedang berikhtiar kearah sana.

Hilangkan rasa sungkan untuk mengkomunikasikan kepada murabbi jika memang sudah punya pilihan sendiri. Begitu pun dengan seorang Murabbi, alangkah lebih baik menanyakan terlebih dulu kepada binaannya apakah sang binaan sudah mempunyai pilihan atau belum, karena mungkin ada yang sungkan untuk mengatakannya pada Murabbi. Bagaimanapun seorang murabbi adalah orangtua kita, yang tau banyak tentang kita, sudah selayaknya kita pun menghargainya, setidaknya berdiskusi dengan murabbi untuk setiap pilihan kita, tentunya berdiskusi pula dengan orangtua kandung kita. Intinya, sama-sama dikomunikasikan kepada orangtua maupun murabbi. Entah jika memang sudah punya pilihan sendiri atau pilihan murabbi. Semoga kedua kisah di atas tak menimpa kita. Aamiin.

Tulisan ini dibuat hanya untuk mengingatkan kita tentang proses ta’aruf yang menjadi gerbang awal sebuah pernikahan, sudah selayaknya proses ta’aruf itu terjaga dari segala bentuk ketidaksucian niat, ikhtiar dan tawakal. Hati-hati juga jika kemudian timbul bisikan-bisikan setan akibat berlama-lama dalam menyegerakan jika memang sudah siap menikah dan sudah punya pilihan sendiri ataupun murabbi.

1 komentar:

Gudir mengatakan...

Semua tergantung niatan dan alur yang diambil sudah penuh kemantaban hati apa belum.

menurut saya yang menjadi manusia netral.
dari cerita diatas karena beliau2nya memiliki kepercayaan yang terpusat pada titik tersebut.

semua tergantung niat..
komunikasipun sangat penting..

Posting Komentar