Malam Jumat, tidak
dimana, selalu identik dengan jima, bagi mereka yang sudah menikah. Jima
bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan biologis semata. Dalam Islam, jima
di malam jum’at menurut hukumnya sunah. Karena pada malam Jumat adalah
Sunah Rasul Saw. Bahkan, Ada yang menghubungkan dengan keutamaan seperti membunuh kaum Yahudi.
Menurut penelitian, tingkat energi kortisol alami yang merangsang hormon seks berada di titik puncak yaitu pada hari Kamis. Karena hormon seks testosteron pada pria dan estrogen pada wanita lima kali lebih tinggi daripada hari biasanya.
Jima yang berlangsung memuaskan memang memberikan manfaat bagi
kesehatan tubuh dan jiwa, Seperti mengurangi tingkat stres akibat
aktivitas sehari-hari dan penuaan dini. Sebaliknya, jima yang tidak memuaskan justru menimbulkan pengaruh buruk bagi kesehatan. Di kalangan awam, terjadi pemahaman bahwa pada malam Jum’at itu
disunnahkan. Bahkan inilah yang dipraktikkan. Memang ada hadits yang
barangkali jadi dalil, namun ada pemahaman yang kurang tepat yang
dipahami oleh mereka.
Dari Aus bin Aus, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Barangsiapa yang mandi pada hari Jum’at dengan mencuci
kepala dan anggota badan lainnya, lalu ia pergi di awal waktu atau ia
pergi dan mendapati khutbah pertama, lalu ia mendekat pada imam,
mendengar khutbah serta diam, maka setiap langkah kakinya terhitung
seperti puasa dan shalat setahun.” (HR. Tirmidzi no. 496).
Ada ulama yang menafsirkan maksud hadits penyebutan mandi dengan
ghosala bermakna mencuci kepala, sedangkan ightasala berarti mencuci
anggota badan lainnya. Demikian disebutkan dalam Tuhfatul Ahwadzi, 3: 3.
Bahkan inilah makna yang lebih tepat.
Ada tafsiran lain mengenai makna mandi dalam hadits di atas. Sebagaimana kata Ibnul Qayyim dalam Zaadul Ma’ad. Imam Ahmad berkata, makna ghossala adalah menyetubuhi istri. Demikian ditafsirkan pula oleh Waki’.
Namun kalau kita lihat tekstual hadits di atas, yang dimaksud
hubungan intim adalah pada pagi hari pada hari Jum’at, bukan pada malam
harinya. Sebagaimana hal ini dipahami oleh para ulama dan mereka tidak
memahaminya pada malam Jum’at.
As Suyuthi dalam Tanwirul Hawalik dan beliau menguatkan hadits
tersebut berkata: Apakah kalian lemas menyetubuhi istri kalian pada
setiap hari Jum’at (artinya bukan di malam hari, -pen)? Karena
menyetubuhi saat itu mendapat dua pahala: (1) pahala mandi Jum’at, (2)
pahala menyebabkan istri mandi (karena disetubuhi). Yaitu hadits yang
dimaksud dikeluarkan oleh Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman dari hadits Abu
Hurairah.
Dan sah-sah saja jika mandi Jum’at digabungkan dengan mandi junub.
Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan, “Jika seseorang meniatkan mandi
junub dan mandi Jum’at sekaligus, maka maksud tersebut dibolehkan.” (Al
Majmu’, 1: 326)
Intinya, sebenarnya pemahaman kurang tepat yang tersebar di
masyarakat awam. Yang tepat, yang dianjurkan adalah hubungan intim pada
pagi hari ketika mau berangkat Jumatan, bukan di malam hari. Tentang
anjurannya pun masih diperselisihkan oleh para ulama karena tafsiran
yang berbeda dari mereka mengenai hadits di atas. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar