Arnova Reswari |
dakwatuna,com – “Bunda, Palestina itu di mana?”
“Bunda, kata bu guru, Palestina sampai sekarang masih dijajah ya?”
“Bunda, apa anak-anak di Palestina bisa sekolah juga seperti aku? Apa anak-anak di sana bisa main karet gelang, main congklak atau main boneka seperti aku?”
Namanya Salamah Az-Zahra, anak sematawayangku. Cerewetnya, jangan ditanya, Ia persis seperti ayahnya. Setiap malam, sebelum Ia tidur, selalu aku nyanyikan lagu-lagu Nasyid untuknya, dan tentang Palestina. Aza – panggilan sayangku padanya – sangat kritis dengan cerita-cerita Palestina, selalu antusias, persis ayahnya.
“Bunda, apa karena itu Ayah harus ke sana?”
“Iya sayang, karena Palestina butuh ayah”, ucapku sambil mengelus rambutnya yang panjang.
“Kenapa kita tidak sekeluarga ke sana Bunda, menemani Ayah?”
“Karena Aza harus sekolah dulu, harus pintar dulu seperti Ayah, baru deh kita ke sana”, ucapku lagi, mencoba menyembunyikan perasaan risau ku. “Jadi sekarang, Aza harus belajar yang rajin, biar cita-citanya tercapai, dan bisa lebih hebat daripada Ayah.”
“Bunda, aku akan sehebat Ayah, aku akan jadi dokter yang keren seperti Ayah, dan akan ke Palestina juga menyusul Ayah!”
Aku tersenyum lebar mendengar ucapan buah hatiku. Ia seperti berorasi malam ini, begitu menggebu-gebu.
“Aamiin Ya Rabb”.
****
Tiga tahun yang lalu, suamiku memutuskan untuk menjadi relawan di Palestina. Sebelum kita memutuskan untuk menikah dulu, dia sudah menyebutkan visi dan misinya, bahwa Ia akan ke sana menjadi dokter relawan di sana. Aku mendukungnya, mendukung jihad suamiku. ‘Hanya enam bulan di sana’, begitu katanya dulu. Akan tetapi faktanya, aku belum dapat kabar kepulangan suamiku sejak tiga tahun keberangkatannya ke sana. Semua pihak telah ku hubungi, tujuannya hanya satu, kepulangan suami ku tercinta. ‘Belum ada kabar, bu’. Selalu kalimat itu yang aku dengar.
Sampai pada suatu hari aku mendengar desas desus beberapa relawan di jalur Gaza ditawan oleh tentara di sana. Aku tak berdaya mendengarnya, hanya satu yang ku harap, di mana pun suamiku, ku harap Ia selalu dalam lindungan-Nya. Mendoakannya adalah caraku memeluknya dari jauh.
Sekarang tugasku fokus pada perkembangan Aza. Mendidiknya sesuai pesan suamiku, menjadi anak yang shalihah dan membahagiakan orang tuanya kelak.
***
Aza, anak sematawayangku telah lulus menjadi seorang dokter hari ini. Aku peluk erat Ia pasca kegiatan sumpah dokter nya. Aku telah dua kali menangis mendengar sumpah para calon dokter, pertama saat suamiku disumpah, dan sekarang anakku. Isi sumpah dokter itu begitu indah dan mulia sekali, besar tanggung jawab dokter setelah mengucapkannya, membuatku salut terhadap profesi seorang dokter. Pantas saja ya menjadi seorang dokter itu berat, berat sekali tanggung jawabnya.
“Bunda, aku akan segera menyusul Ayah, membawa Ayah kembali pulang ke rumah kita,” ucap Aza sambil memelukku.
Aku menangis.
“Pergilah, Nak. Jangan khawatirkan bunda, bunda akan baik-baik saja di sini.”
Air mataku semakin deras.
Mata itu, seperti mata suamiku. Semangat itu, juga seperti semangat jihad suamiku. Hari ini aku melihatnya pada sosok Aza. Aku tak kuasa. Aku tak akan mungkin menghalangi niat mulia anakku. Harusnya aku berbangga, sosok ini lahir dari rahimku. Sosok ini adalah anakku. Sekarang ia tak lagi hanya menjadi milikku, Ia milik semua orang yang membutuhkannya.
***
“Kabari bunda selalu saat di sana ya, Nak,” ucapku sambil mengecup kening Aza.
Aku tak meneteskan air mata sedikit pun hari ini. Justru sebaliknya, aku bahagia mengantar kepergian anakku. Tiga puluh menit lagi pesawat relawan Palestina akan berangkat. Aku tak banyak bertanya, aku hanya diam dan menggenggam tangan Aza erat. Ya, mungkin ini untuk terakhir kalinya aku menggenggam tangan Aza. Begitu firasatku. Aku berusaha tegar.
***
Dua bulan sudah, setelah kepergian Aza. Rumah ini sepi sekali. Mataku seolah-olah tak pernah lepas dari bayangan-bayangan Aza dan suamiku, mereka seperti ada di sini menemaniku. Aku buka lagi email dari Aza, lengkap dengan foto-fotonya di sana. Anakku, yang telah dewasa, Ia begitu cantik dengan kerudung panjangnya, Ia begitu cantik dengan jas putih dan stetoskop yang melingkar di lehernya.
***
“Selamat pagi, ini dengan Ibu Azizah?”
“Ya, saya Azizah, ini dengan siapa?”
“Ibu, kami dari Tim Relawan Al-Fatih mengabarkan putri ibu, Salamah Az-Zahra, baru saja syahid, Bu. Beliau tertembak peluru lepas saat….”
Kaki ku kaku. Dingin. Aku tak bisa merekam suara di seberang sana. Hanya satu kalimat yang terdengar, Anakku, Aza, telah syahid. Gagang telepon itu jatuh, bunyinya yang keras nyaris tidak terdengar. Anakku telah syahid. Anakku telah menyusul ayahnya. Anakku telah menggapai penuh cita-citanya.
Air mataku meleleh. Allah begitu mencintai keluargaku, jika dulu suamiku yang telah dijemput-Nya penuh cinta, maka hari ini aku mendengar Allah menjemput Aza-ku.
Allah, Allah, Allah, Engkau telah mengambil kembali titipan-Mu. Aku ikhlas. Jika boleh aku menyebut ini jihadku sebagai seorang Ibu dan seorang Istri, maka jihad ini untuk-Mu, maka saksikanlah Ya Allah!
Penulis : Arnova
Penulis : Arnova
1 komentar:
“Bunda, apa anak-anak di Palestina bisa sekolah juga seperti aku? Apa anak-anak di sana bisa main karet gelang, main congklak atau main boneka seperti aku?”
Posting Komentar