Ku tatap waktu, membiaskan begitu banyak laku. Di suatu saat, ketika
putihnya pagi memulai hari. Anganku merambatkan sebuah harap. Meski
ingin sekali terkatakan, namun sungguh tertahan dengan sekuat tenaga
dari sisa lelah semalam. Kebiasaan begadang para lajang yang konon
katanya harus cepat melesat, tak kenal waktu, situasi dan tempat.
“Jangan pernah menaruh harapan pada manusia, jika tak ingin kecewa”,
demikian sebuah petuah agung menjadi pegangan. Menjadi senjata paling
ampuh untuk tetap berdaya sendiri, hanya mengandalkan diri sendiri. Dan
menumpukkan semua harapan, tanpa pengecualian urusan, hanya kepadaNya.
Mungkin benar, sesiap apapun untuk kecewa, tetap saja itu perasaan
tak nyaman, bahkan menyakitkan. Yang tak hanya mengubah senyuman jadi
raut redup, tapi juga sesal, mungkin. Dan ini berlaku tidak hanya untuk
diri sendiri, tapi juga sebaliknya, pun untuk orang lain. Maka, jangan
pernah berharap pada manusia, dalam urusan apapun.
Namun, ada kalanya jiwa ini lelah. Ada saatnya ruhiyah ini melemah. Ada masanya senyap itu menyergap, ingati tentang kesendirian. Ah, kesendirian. Tak ku sesali, jika takdir ini masih berlaku hingga saat ini. Semoga tak berlebihan, kerena setiap keputusan di masa lalu, adalah hasil dari perenungan-perunungan hati, yang memberlakukan tentang harap dan kecewa itu. Bahwa memang pada kenyataanya, aku tak kan bisa menjaminkan diri pada tumpuan harapan yang berbinar dari setiap mata pemilik tempat labuhan, yang ditawarkannya kepadaku. Pun sebaliknya, akupun sangat membatasi ingin, agar tak berharap pada siapapun, karena akulah lokomotif untuk perjalanan hidupku, baik ketika sendiri, atau kelak berdua.
Angkuhkah ini? Karena selintas seperti menjadi semacam arogansi harga
diri. Atau jangan-jangan ini juga masuk dalam wilayah keegoisan, yang
hadir dalam bentuk yang tak hanya berbeda, tapi juga menelusup halus di
cara pandang hidupku? Menjadi penyebab utama seringnya mengabaikan lelah
dan lemah, di atas nama kemuslimahan.
Namun, bisakah ku argumentasikan sebuah wejangan? Tentang garis dasar
perbedaan antara harapan dan orientasi. Yang dimaknai menjadi perbedaan
antara menerima dan memberi. Sehingga untukku, awal kata “untuk apa”
menjadi lebih penting dari “mengapa.” Dan menjadi sangat penting, ketika
dalam sebuah urusan masa depan, pertanyaan ini ditunjukkan tak hanya
untuk diri sendiri, tapi juga untuk sang penawar tempat labuhan.
Entahlah..
Jika ini memang sebuah kesalahan, menjadi kewajibanku untuk
memperbaiki. Tapi jika ini adalah kebenaran, aku harus bertahan disini,
di ingin yang tak bisa diungkap.
Hanya saja, hatiku luruh, jiwaku membasah, ketika ku dapati kisah pada suri tauladan.
“Aisy..” Demikian panggil lembut penuh mesra sang Nabi SAW pada
Aisyah, isterinya, sambil memegang ujung hidungnya dan
menggosok-gosoknya. Ketika itu, Aisyah sedang dalam keadaan sedih, marah
dan penuh luapan emosi.
“Bacalah; Ya Allah, ampunilah dosaku, singkirkan marah dihatiku dan selamatkan aku dari syetan” lanjut beliau SAW.
Ah, iriku menjadi. Mengingat disaat-saat aku keteteran mengendalikan
emosi, akulah yang harus berusaha keras terus mengingatiNya, sendiri.
Lalu apanya yang salah? Jika Aisyah yang begitu hebat pun punya
seseorang yang begitu dekat, mendampingi, mengingatkan dan
menguatkannya. Tak hanya Aisyah ra, Nabi SAW, sang manusia paling
sempurna di jagad raya ini, bukankah sebelumnya punya Khadijah ra, yang
begitu sigap menentramkan gelisahnya, selepas wahyu pertama turun?
Jika manusia-manusia pilihanpun mempunyai pendamping, pengingat dan
penguat dalam menjalani kehidupan? Maka, setiap kita yang hidup
sekarangpun, tak mungkin menafikkan hal ini. Yang kemudian, ini tak lagi
menyoal tentang harapan dan orientasi, menerima dan memberi yang pada
akhirnya menyoal tentang kecewa. Karena fitrah diri, adalah jawaban
jujur, bahwa setiap kita butuh penguat, yang tak hanya mendampingi, tapi
juga menjadi bagian diri.
Itulah mungkin sebabnya, mengapa penguat itu disebut belahan jiwa.
Wallahu’alam bishawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar