Pernikahan, sungguh bukan hal yang sederhana dan mudah. Sesederhana
mendapatkan teman berbagi cerita, mendapatkan orang yang siap
menanggung/melayani kita, memberi nafkah, maupun melahirkan anak, atau
semudah membangun rumah dan mengisinya dengan berbagai perabot rumah
tangga, belanja untuk menunjang kebutuhan hidup, mengatur pemasukan dan
pengeluaran keuangan maupun rutinitas harian belaka.
Akan tetapi, hei! Alangkah tidak sesederhana mengatakannya. Di saat
idealisme melambung tinggi menuju tempat-tempat terjauh yang dapat
dijangkau oleh dakwah, tetapi pondasi “idealisme kita” belum kuat,
apakah yang akan terjadi? Friksi-friksi itu tak dapat terhindar!
Saudaraku, mengertilah, kita tak bisa sembarang menghakimi “Setelah
menikah kok fulan/fulanah hilang dari peredaran ya?”, “Kok bisa-bisanya
ia meninggalkan amanah yang ada?”, “Dia kok lebih mementingkan urusan
pribadi (keluarga)nya sih?” dan cibiran-cibiran serupa lainnya yang
naudzubillah secara tidak sadar malah mengecilkan makna ikatan suci
pernikahan yang melahirkan sebuah amanah baru yang lebih mendalam
perkaranya, yang mungkin pernah kau bayangkan mengenainya namun tak
dapat kau jiwai sebelum kau mengalaminya.
Mengertilah saudaraku,bahwa di dalam diri seorang mujahid-mujahidah
yang ber’azzam untuk dakwahnya, sesungguhnya bara idealisme itu tak
pernah mati atau meredup. Ia hanya sedang bertransformasi dengan wujud
yang tak pernah terbayangkan olehmu yang belum mengalaminya. Ia – mereka
– sedang mengasah pijakannya agar menjadi batu loncatan yang meledakkan
momentum luar biasa menuju perubahan yang adidaya bagi dakwah dengan
senantiasa mengharap ridho Allah SWT. Sungguh saudaraku, ada
kekhawatiran dalam diri mereka.
“Katakanlah: “jika bapa-bapa, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.” Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” (QS At-Taubah: 24)
Pun senantiasa mereka camkan,
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS At-Tahrim: 6)
Mengertilah saudaraku, bahwa jauh di dalam diri mereka, terjadi
pergulatan paradigma, ego, emosi, rasa, harapan, realita, prioritas,
idealisme, keyakinan, dan semua itu sedang mereka perjuangkan dalam
ikhtiar mereka dengan tetap menjunjung dakwah di mana pun, di atas bumi
yang sedang mereka pijak. Doa-doa, sujud-sujud panjang mereka untuk
seluruh saudara-saudara seperjuangan di manapun, serta keyakinan dan
tawakal yang tak habis-habisnya bahwa Allah masih menjaga mereka di
dalam barisan-barisan para mujahid yang senantiasa berjuang mengibarkan
panji-panji Islam. Bahwa Allah memberkahi pernikahan mereka.
Apakah pernah kau bertanya terhadap dirimu sendiri, “Apa yang bisa
saya bantu bagi saudara/saudari saya ini agar ia tetap dapat
berkontribusi bagi dakwah di dalam barisan ini?” ataukah kau memilih
berpikir, “Saya mengerti, dunianya sekarang memang sudah berbeda,
biarkanlah ia menjalani hidup barunya, kita tak perlu mengharap lebih
darinya.” atau yang lebih ekstrem, “Ya, dia sekarang sudah berbeda,
lebih baik tak perlu lagi dilibatkan.” Apakah kau puas dengan hanya
dapat “mengerti” kondisinya sekarang tanpa berusaha merangkulnya
kembali?
Apakah kau membayangkan betapa rindu mereka berada di dalam satu
barisan dengan orang-orang shalih yang senantiasa mengingatkan mereka
akan lezatnya berukhuwah,nikmat saling mengingatkan dalam kebaikan dan
kebenaran serta saling menanggung peluh dan air mata saudara-saudara
seperjuangan dalam menyerukan Islam?
Satu hal yang perlu kau ingat, mereka adalah manusia. Ada saatnya
mereka merasa tak berdaya untuk menopang diri dari beratnya perjanjian
yang hanya tersebut tiga kali dalam Al-Qur’an ini. Terkadang, mereka
ingin sekali menangis, mengadu, tetapi kepada siapa? Dan untuk apa? Ini
adalah harga dari pilihan yang secara kesatria telah mereka putuskan.
Inilah ujian dari Allah yang memang harus mereka jalani saat ini. Mereka
sedang bertahan dalam perjanjian kepada Sang Rabb. Mereka tak pernah
berniat untuk mengumbar pahit yang sedang mereka rasakan untuk menarik
simpati maupun mencari-cari pembenaran untuk membuat posisi mereka
nyaman apalagi untuk sekedar membela diri dari cibiran maupun pujian
yang beredar di sekeliling mereka karena mereka yakin bahwa mereka harus
tetap teguh dalam menghadapinya. Ini adalah bagian yang juga harus
mereka lalui untuk dapat naik ke derajat yang lebih mulia. RadhiAllahu
‘anhum wa radhu anh.
“Ya ALLAH, jadikan diriku lebih baik daripada sangkaan mereka,
janganlah Engkau hukum aku karena ucapan mereka dan ampunilah aku
lantaran ketidaktahuan mereka”, (Abu Bakar RA)
Maka dari itu saudaraku, jika ada di antara kita, saudara-saudari
kita yang telah menggenapkan separuh Diinnya, kuatkanlah mereka dengan
berhusnuzhon terhadap mereka, bayangkanlah wajah mereka dalam doa-doa
kita, tetaplah menyemangati mereka dalam menghidupkan bara-bara
perjuangan menuju kemenangan hakiki di dalam hati mereka. Karena
sungguh, amat berharga satu tatapan penuh cinta karenaNya, seulas
senyum, maupun sekedar ajakan untuk berkumpul bersama dalam barisan ini
kembali meskipun saat itu mereka tengah menunaikan amanah mereka di
tempat lain.
Oleh: Nesya Eka Putri, Depok
2 komentar:
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS At-Tahrim: 6)
Subahanallah... terima kasih sudah diingatkan kembali akhi :)
Posting Komentar