Senin, 16 Januari 2012

Barirah Dan Rumah Tangga Tanpa Cinta

 
Ini adalah kisah percintaan klasik yang terjadi di kala tanah-tanah berpasir Madinah beraroma nubuwat.
Mughits. Itulah nama lelaki berkulit hitam ini. Ia merupakan salah seorang budak keturunan Afrika yang terdampar di kota Makkah. Tuannya bernama Abu Ahmad bin Jahsi Al Asadi, salah seorang shahabat Rasulullah yang telah memeluk Islam sejak di Makkah. Sebagai seorang hamba sahaya, Mughits merupakan budak yang amanah, jujur, dan bersemangat dalam mengabdikan dirinya pada sang tuan. Oleh karena itu, Abu Ahmad pun memperoleh banyak manfaat atas pengabdian budaknya itu. Sehingga tidaklah aneh jika kemudian Abu Ahmad juga sangat menyayangi dan mengagumi Mughits.

Ketika Abu Ahmad menawarkan Islam pada Mughits, ia pun serta merta menerima dan meresapkannya dalam jiwanya. Hal ini semakin membuat Abu Ahmad menyayanginya dan selalu mengabulkan permintaan-permintaan sang budak. Termasuk keinginan Mughits untuk menikah. Bagaimanapun juga, ia adalah lelaki yang memiliki kecenderungan untuk menentramkan hatinya dan melabuhkan jiwanya pada seorang perempuan. Maka, Abu Ahmad pun menyanggupi permintaan dari Mughits, tapi dengan syarat bahwa pernikahannya dilakukan setelah mereka Hijrah ke Yatsrib, Madinatun Nabi.
Hijrah ke Madinah pun terjadi.

Perjalanan hijrah Abu Ahmad ini tidak hanya menyertakan Mughits, tapi juga keluarga Abu Ahmad juga. Di perjalanan menuju Madinah, Abu Ahmad menyenandungkan syair-syair yang ditujukan pada isteri yang dicintainya. Melihat romantisme sepasang suami isteri itu, makin menggebulah tekad dan keinginan Mughits untuk membina rumah tangga. Disampaikannya keinginan hatinya lagi kepada Abu Ahmad. Berulang-ulang Mughits menyampaikan keinginannya itu pada sang tuan, seakan-akan keshabaran Mughits untuk menanti hingga ke Madinah sudah habis.

Sampailah rombongan Abu Ahmad di Madinah. Mereka pun mencari tempat tinggal hingga diperoleh yang sesuai. Saat itu, Mughits lagi-lagi datang kepada tuannya dan menagih janjinya. Maka dengan lembut Abu Ahmad pun menyuruhnya untuk mencari perempuan yang yang akan dijadikannya calon isteri yang sepadan dengannya, yakni yang juga berstatus sebagai budak.

Maka, mulailah Mughits mencari tambatan hatinya diantara perempuan-perempuan budak di perkampungan Madinah. Hingga akhirnya hatinya terpaut dengan seorang budak perempuan berkulit hitam yang cantik jelita di salah satu rumah penduduk Anshar dari Bani Hilal. Barirah nama perempuan cantik itu.

Mughits segera menemui Abu Ahmad dan memberikan kabar itu. Disampaikan keinginan hatinya untuk mempersunting Barirah menjadi separuh jiwanya. Maka, Abu Ahmad pun segera mendatangi keluarga Bani Hilal. Disampaikannya maksud kedatangannya untuk meminang Barirah bagi sahayanya. Mereka pun menerima baik keinginan Abu Ahmad. Disampaikanlah kabar itu kepada Barirah, tapi ternyata ia memberikan jawaban bahwa ia tidak menyukai lelaki yang akan dinikahkan dengannya itu. Ia pun merasakan kesedihan dan masuk ke kamarnya sembari menangis.

Keluarga Bani Hilal pun menyampaikan kepada Abu Ahmad bahwa mereka telah meridhai pinangan Mughits bagi sahayanya, tapi Barirah sendiri menyatakan tidak menyukai Mughits dan tidak menghendaki pernikahan itu. Mereka pun meminta waktu selama beberapa hari untuk membujuk dan melunakkan hati Barirah agar mau menerima pinangan itu.

Tatkala Mughits mendengar kabar bahwa Barirah tidak menerima pinangan itu, ia merasa sangat terpukul dan sedih. Ia meminta sang tuan untuk terus membujuk majikan Barirah agar hati Barirah luluh dan mau menerimanya. Ia katakan pada Abu Ahmad bahwa ia telah mencintai Barirah dan tidak mau menikah dengan perempuan selainnya. Abu Ahmad pun beberapa kali datang ke kediaman Bani Hilal untuk membujuk keluarga Barirah menerima Mughits.

Karena terus-menerus dibujuk oleh majikannya, Barirah pun menerima pinangan Mughits, meski hatinya masih merasakan keengganan. Betapa bahagia Mughits mendengar kabar itu. Pernikahan antara Mughits dan Barirah pun dilangsungkan. Di satu sisi, Mughits sangat bahagia karena telah mempersunting perempuan yang dicintainya. Sementara di sisi yang lain, Barirah merasa sangat tertekan karena terpaksa menerima pernikahan itu. Ia merasa telah menipu dirinya sendiri dengan menikahi lelaki yang tidak diinginkannya.
“Demi Allah,” kata Barirah, “Aku tidak menginginkan dan tidak menyukainya, tapi apa yang bisa kuperbuat, takdir pastilah menang.”

Setelah menikah, Barirah menjalani kehidupan rumah tangga dengan Mughits. Ia menjalani kehidupannya layaknya seorang isteri pada umumnya, melaksanakan pemenuhan kewajiban-kewajiban seorang isteri, terkecuali rasa cinta. Ia pun juga bersosialisasi dan bergaul dengan masyarakat umum yang kala itu sedang membangun peradabannya di Madinatun Nabi. Salah satu tempat yang sering dikunjungi Barirah adalah di deretan bilik ummahatul mukminin, terutama bilik Ummul Mukminin Aisyah. Ia sering kali datang ke bilik itu dan membantu pekerjaan-pekerjaan Aisyah. Karena itu, antara Barirah dan Aisyah pun terbina saling keterpercayaan. Barirah pun mengungkapkan rasa di dalam hatinya pada Aisyah.

“Demi Allah,” katanya penuh kegundahan, “Aku dipaksa oleh keluargaku untuk menikah dengannya. Dalam hatiku tidak ada kecintaan kepadanya, dan aku tidak tahu apa yang harus aku perbuat.”
Dengan kelembutan seorang shahabat pada karibnya, Ummul Mukminin Aisyah menasihati Barirah, “Wahai Barirah, bertakwalah kepada Allah dan bershabarlah dengan suamimu. Sungguh, ia adalah lelaki shalih, semoga Allah menghilangkan kegundahanmu dan menganugerahkan kecintaan kepada suamimu.”
Barirah pun mencoba menuruti nasihat Ummul Mukminin Aisyah. Dicobanya mencintai suaminya, Mughits. Namun, semakin ia mencoba mencintainya, yang dirasakannya adalah timbulnya kebencian pada Mughits yang demikian kuat dan menjadi-jadi.

“Demi Allah, wahai Ummul Mu’minin,” ujarnya makin gundah, “Sungguh hatiku ini sangat membenci Mughits, aku sudah berusaha mencintainya dan aku tetap tidak bisa. Aku tidak tahu apa yang bisa ku lakukan dalam hidup bersamanya..”

“Bersabarlah, wahai Barirah,” kata Ummul Mukminin Aisyah kembali menasihatinya, “Semoga Allah memberikan jalan keluar dari masalahmu ini.”

Mughits yang mendapati sang isteri bersikap membencinya sedemikian rupa. Ia pun merasakan kesedihan yang mendalam. Rasa cintanya ternyata berbalas kebencian dari sang isteri. Namun, ia tidak menyerah pada keadaan. Ia terus berjuang untuk meluluhkan hati isterinya agar mencintainya. Dimintanya Abu Ahmad menasihati isterinya agar bersikap lunak dan lembut kepadanya. Hasilnya tidak membawa perubahan. Dimintanya keluarga Barirah untuk membantunya, tapi mereka tidak terlalu merespon keinginan Mughits itu.
Melihat Mughits yang makin diliputi kesedihan, Abu Ahmad pun menghiburnya, “Kenapa kamu ini, wahai Mughits? Sepertinya kamu terlalu memikirkan Barirah, perempuan selain dia kan banyak.”

“Tidak, demi Allah, wahai Tuanku,” jawabnya penuh kesedihan, “Aku tidak bisa membencinya dan tidak bisa mencintai perempuan selainnya.”

“Kalau begitu bersabarlah, sampai ia melahirkan anakmu, semoga setelah itu hatinya mulai berubah dan bisa mencintaimu.”

Harapan dalam hati Mughits pun berbinar berpendar. Ia sangat berharap bahwa jika nanti anaknya dengan Barirah lahir, ia akan menjadi wasilah bagi Barirah untuk kemudian mencintainya. Barirah hamil. Hingga ketika anak yang dikandungnya telah lahir, ternyata Barirah tidak menunjukkan tanda-tanda ia mulai mencintai Mughits, malah kebenciannya pun semakin dalam. Tidak pernah muncul keinginan dalam hatinya untuk melahirkan seorang anak dari Mughits.

Saat dalam keadaan nifas pasca melahirkan, Ummul Mukminin Aisyah mendatanginya untuk bersilaturahim, mengucapkan selamat, dan mendoakannya. Namun, Barirah malah menangis meratapi kemalangan dirinya melahirkan seorang anak dari seorang lelaki yang dibencinya.

“Wahai Barirah,” kata Ummul Mukminin Aisyah, “Mungkinkah engkau untuk membeli dirimu, jika engkau lakukan hal ini maka masalahmu akan bisa teratasi dan engkau berhak atas dirimu sendiri, dan jika engkau mau, engkau bisa berpisah dari suamimu.”

Ummul Mukminin Aisyah memberikan saran berdasarkan hukum Islam, bahwa seorang perempuan merdeka yang bersuamikan seorang budak memiliki hak khiyar (memilih) untuk melanjutkan pernikahannya atau bercerai.

“Aku telah mencoba berkali-kali memohon mereka untuk memerdekakanku, tapi mereka tidak menerimanya, seolah-olah tidak ada budak selainku yang bisa membantu mereka. Tetapi aku akan tetap bersabar sehingga Allah menghilangkan rasa sedih dan gundahku,” kata Barirah menjelaskan.

Setelah berlalu beberapa tahun. Keluarga Bani Hilal pun menyetujui pembebasan diri Barirah dengan pembayaran sejumlah uang. Bukan main gembira hati Barirah atas kesepakatan itu.
Barirah pun mendatangi Aisyah dan meminta bantuannya, “Wahai Aisyah, sesungguhnya saya telah mengadakan janji dengan tuanku untuk memerdekakan diriku, dengan sembilan uqiyah, pada setiap tahun satuuqiyah, maka bantulah saya.”

Saat itu Barirah sama sekali belum membayar angsuran penebusan dirinya. Satu uqiyah adalah dua belas dirham. Imam An Nasa’i mencatat riwayat ini dalam Sunan.

“Kembalilah kepada keluargamu,” kata Ummul Mukminin sebagaimana dicatat dalam Shahih Muslim, “Jika mereka mau saya akan membayar tebusanmu, dan hak perwalianmu padaku, maka saya akan melunasinya.”

1 komentar:

Arief Jogoboyo mengatakan...

kancane njaluk pitulungan diwarahi ngelola blog bisa gak ya? agar blog bisa di deteksi sama google search gmana? trus merubah tema seperti punya antum gimana caranya? sms di 08155266170, from arief jogoboyo.

Posting Komentar