Ini adalah kisah percintaan klasik yang terjadi di kala tanah-tanah berpasir Madinah beraroma nubuwat.
Mughits.
Itulah nama lelaki berkulit hitam ini. Ia merupakan salah seorang budak
keturunan Afrika yang terdampar di kota Makkah. Tuannya bernama Abu
Ahmad bin Jahsi Al Asadi, salah seorang shahabat Rasulullah yang telah
memeluk Islam sejak di Makkah. Sebagai seorang hamba sahaya, Mughits
merupakan budak yang amanah, jujur, dan bersemangat dalam mengabdikan
dirinya pada sang tuan. Oleh karena itu, Abu Ahmad pun memperoleh banyak
manfaat atas pengabdian budaknya itu. Sehingga tidaklah aneh jika
kemudian Abu Ahmad juga sangat menyayangi dan mengagumi Mughits.
Ketika Abu Ahmad menawarkan
Islam pada Mughits, ia pun serta merta menerima dan meresapkannya dalam
jiwanya. Hal ini semakin membuat Abu Ahmad menyayanginya dan selalu
mengabulkan permintaan-permintaan sang budak. Termasuk keinginan Mughits
untuk menikah. Bagaimanapun juga, ia adalah lelaki yang memiliki
kecenderungan untuk menentramkan hatinya dan melabuhkan jiwanya pada
seorang perempuan. Maka, Abu Ahmad pun menyanggupi permintaan dari
Mughits, tapi dengan syarat bahwa pernikahannya dilakukan setelah mereka
Hijrah ke Yatsrib, Madinatun Nabi.
Hijrah ke Madinah pun terjadi.
Perjalanan hijrah Abu Ahmad ini
tidak hanya menyertakan Mughits, tapi juga keluarga Abu Ahmad juga. Di
perjalanan menuju Madinah, Abu Ahmad menyenandungkan syair-syair yang
ditujukan pada isteri yang dicintainya. Melihat romantisme sepasang
suami isteri itu, makin menggebulah tekad dan keinginan Mughits untuk
membina rumah tangga. Disampaikannya keinginan hatinya lagi kepada Abu
Ahmad. Berulang-ulang Mughits menyampaikan keinginannya itu pada sang
tuan, seakan-akan keshabaran Mughits untuk menanti hingga ke Madinah
sudah habis.
Sampailah rombongan Abu Ahmad di
Madinah. Mereka pun mencari tempat tinggal hingga diperoleh yang
sesuai. Saat itu, Mughits lagi-lagi datang kepada tuannya dan menagih
janjinya. Maka dengan lembut Abu Ahmad pun menyuruhnya untuk mencari
perempuan yang yang akan dijadikannya calon isteri yang sepadan
dengannya, yakni yang juga berstatus sebagai budak.
Maka, mulailah Mughits mencari
tambatan hatinya diantara perempuan-perempuan budak di perkampungan
Madinah. Hingga akhirnya hatinya terpaut dengan seorang budak perempuan
berkulit hitam yang cantik jelita di salah satu rumah penduduk Anshar
dari Bani Hilal. Barirah nama perempuan cantik itu.
Mughits segera menemui Abu Ahmad
dan memberikan kabar itu. Disampaikan keinginan hatinya untuk
mempersunting Barirah menjadi separuh jiwanya. Maka, Abu Ahmad pun
segera mendatangi keluarga Bani Hilal. Disampaikannya maksud
kedatangannya untuk meminang Barirah bagi sahayanya. Mereka pun menerima
baik keinginan Abu Ahmad. Disampaikanlah kabar itu kepada Barirah, tapi
ternyata ia memberikan jawaban bahwa ia tidak menyukai lelaki yang akan
dinikahkan dengannya itu. Ia pun merasakan kesedihan dan masuk ke
kamarnya sembari menangis.
Keluarga Bani Hilal pun
menyampaikan kepada Abu Ahmad bahwa mereka telah meridhai pinangan
Mughits bagi sahayanya, tapi Barirah sendiri menyatakan tidak menyukai
Mughits dan tidak menghendaki pernikahan itu. Mereka pun meminta waktu
selama beberapa hari untuk membujuk dan melunakkan hati Barirah agar mau
menerima pinangan itu.
Tatkala Mughits mendengar kabar
bahwa Barirah tidak menerima pinangan itu, ia merasa sangat terpukul dan
sedih. Ia meminta sang tuan untuk terus membujuk majikan Barirah agar
hati Barirah luluh dan mau menerimanya. Ia katakan pada Abu Ahmad bahwa
ia telah mencintai Barirah dan tidak mau menikah dengan perempuan
selainnya. Abu Ahmad pun beberapa kali datang ke kediaman Bani Hilal
untuk membujuk keluarga Barirah menerima Mughits.
Karena terus-menerus dibujuk
oleh majikannya, Barirah pun menerima pinangan Mughits, meski hatinya
masih merasakan keengganan. Betapa bahagia Mughits mendengar kabar itu.
Pernikahan antara Mughits dan Barirah pun dilangsungkan. Di satu sisi,
Mughits sangat bahagia karena telah mempersunting perempuan yang
dicintainya. Sementara di sisi yang lain, Barirah merasa sangat tertekan
karena terpaksa menerima pernikahan itu. Ia merasa telah menipu dirinya
sendiri dengan menikahi lelaki yang tidak diinginkannya.
“Demi
Allah,” kata Barirah, “Aku tidak menginginkan dan tidak menyukainya,
tapi apa yang bisa kuperbuat, takdir pastilah menang.”
Setelah menikah, Barirah
menjalani kehidupan rumah tangga dengan Mughits. Ia menjalani
kehidupannya layaknya seorang isteri pada umumnya, melaksanakan
pemenuhan kewajiban-kewajiban seorang isteri, terkecuali rasa cinta. Ia
pun juga bersosialisasi dan bergaul dengan masyarakat umum yang kala itu
sedang membangun peradabannya di Madinatun Nabi. Salah satu tempat yang
sering dikunjungi Barirah adalah di deretan bilik ummahatul mukminin,
terutama bilik Ummul Mukminin Aisyah. Ia sering kali datang ke bilik
itu dan membantu pekerjaan-pekerjaan Aisyah. Karena itu, antara Barirah
dan Aisyah pun terbina saling keterpercayaan. Barirah pun mengungkapkan
rasa di dalam hatinya pada Aisyah.
“Demi Allah,” katanya penuh
kegundahan, “Aku dipaksa oleh keluargaku untuk menikah dengannya. Dalam
hatiku tidak ada kecintaan kepadanya, dan aku tidak tahu apa yang harus
aku perbuat.”
Dengan
kelembutan seorang shahabat pada karibnya, Ummul Mukminin Aisyah
menasihati Barirah, “Wahai Barirah, bertakwalah kepada Allah dan
bershabarlah dengan suamimu. Sungguh, ia adalah lelaki shalih, semoga
Allah menghilangkan kegundahanmu dan menganugerahkan kecintaan kepada
suamimu.”
Barirah
pun mencoba menuruti nasihat Ummul Mukminin Aisyah. Dicobanya mencintai
suaminya, Mughits. Namun, semakin ia mencoba mencintainya, yang
dirasakannya adalah timbulnya kebencian pada Mughits yang demikian kuat
dan menjadi-jadi.
“Demi Allah, wahai Ummul
Mu’minin,” ujarnya makin gundah, “Sungguh hatiku ini sangat membenci
Mughits, aku sudah berusaha mencintainya dan aku tetap tidak bisa. Aku
tidak tahu apa yang bisa ku lakukan dalam hidup bersamanya..”
“Bersabarlah, wahai Barirah,”
kata Ummul Mukminin Aisyah kembali menasihatinya, “Semoga Allah
memberikan jalan keluar dari masalahmu ini.”
Mughits yang mendapati sang
isteri bersikap membencinya sedemikian rupa. Ia pun merasakan kesedihan
yang mendalam. Rasa cintanya ternyata berbalas kebencian dari sang
isteri. Namun, ia tidak menyerah pada keadaan. Ia terus berjuang untuk
meluluhkan hati isterinya agar mencintainya. Dimintanya Abu Ahmad
menasihati isterinya agar bersikap lunak dan lembut kepadanya. Hasilnya
tidak membawa perubahan. Dimintanya keluarga Barirah untuk membantunya,
tapi mereka tidak terlalu merespon keinginan Mughits itu.
Melihat
Mughits yang makin diliputi kesedihan, Abu Ahmad pun menghiburnya,
“Kenapa kamu ini, wahai Mughits? Sepertinya kamu terlalu memikirkan
Barirah, perempuan selain dia kan banyak.”
“Tidak, demi Allah, wahai
Tuanku,” jawabnya penuh kesedihan, “Aku tidak bisa membencinya dan tidak
bisa mencintai perempuan selainnya.”
“Kalau begitu bersabarlah, sampai ia melahirkan anakmu, semoga setelah itu hatinya mulai berubah dan bisa mencintaimu.”
Harapan dalam hati Mughits pun
berbinar berpendar. Ia sangat berharap bahwa jika nanti anaknya dengan
Barirah lahir, ia akan menjadi wasilah bagi Barirah untuk kemudian
mencintainya. Barirah hamil. Hingga ketika anak yang dikandungnya telah
lahir, ternyata Barirah tidak menunjukkan tanda-tanda ia mulai mencintai
Mughits, malah kebenciannya pun semakin dalam. Tidak pernah muncul
keinginan dalam hatinya untuk melahirkan seorang anak dari Mughits.
Saat dalam keadaan nifas pasca
melahirkan, Ummul Mukminin Aisyah mendatanginya untuk bersilaturahim,
mengucapkan selamat, dan mendoakannya. Namun, Barirah malah menangis
meratapi kemalangan dirinya melahirkan seorang anak dari seorang lelaki
yang dibencinya.
“Wahai Barirah,” kata Ummul
Mukminin Aisyah, “Mungkinkah engkau untuk membeli dirimu, jika engkau
lakukan hal ini maka masalahmu akan bisa teratasi dan engkau berhak atas
dirimu sendiri, dan jika engkau mau, engkau bisa berpisah dari
suamimu.”
Ummul Mukminin Aisyah memberikan
saran berdasarkan hukum Islam, bahwa seorang perempuan merdeka yang
bersuamikan seorang budak memiliki hak khiyar (memilih) untuk melanjutkan pernikahannya atau bercerai.
“Aku telah mencoba berkali-kali
memohon mereka untuk memerdekakanku, tapi mereka tidak menerimanya,
seolah-olah tidak ada budak selainku yang bisa membantu mereka. Tetapi
aku akan tetap bersabar sehingga Allah menghilangkan rasa sedih dan
gundahku,” kata Barirah menjelaskan.
Setelah berlalu beberapa tahun.
Keluarga Bani Hilal pun menyetujui pembebasan diri Barirah dengan
pembayaran sejumlah uang. Bukan main gembira hati Barirah atas
kesepakatan itu.
Barirah
pun mendatangi Aisyah dan meminta bantuannya, “Wahai Aisyah,
sesungguhnya saya telah mengadakan janji dengan tuanku untuk
memerdekakan diriku, dengan sembilan uqiyah, pada setiap tahun satuuqiyah, maka bantulah saya.”
Saat itu Barirah sama sekali belum membayar angsuran penebusan dirinya. Satu uqiyah adalah dua belas dirham. Imam An Nasa’i mencatat riwayat ini dalam Sunan.
“Kembalilah kepada keluargamu,” kata Ummul Mukminin sebagaimana dicatat dalam Shahih Muslim, “Jika mereka mau saya akan membayar tebusanmu, dan hak perwalianmu padaku, maka saya akan melunasinya.”
1 komentar:
kancane njaluk pitulungan diwarahi ngelola blog bisa gak ya? agar blog bisa di deteksi sama google search gmana? trus merubah tema seperti punya antum gimana caranya? sms di 08155266170, from arief jogoboyo.
Posting Komentar