Senin, 19 November 2012

GAZA Bangunkan Tidur Panjang Arab

Oleh: Musthafa Luthfi*
SEJAK serangan Israel di Gaza yang menewaskan komandan senior sayap militer Hamas, Izzuddin al-Qassam, Ahmed al-Ja'bari, Rabu (14/11/2012), Gaza kembali menjadi perhatian publik dunia, khususnya Arab dan dunia Islam sehingga untuk sementara waktu menggeser perhatian terhadap situasi berdarah di Suriah. Upaya-upaya penengah dari sejumlah pemimpin dunia bagi peredaan ketegangan antara Israel dan para pejuang Palestina masih berlanjut.

Hingga tulisan ini, situasi di wilayah masih mengindikasikan dua kemungkinan yakni pertama eskalasi bila upaya penengah gagal atau kedua, menuju peredaan situasi. Para pejuang Palestina, nampaknya siap menerima gencatan senjata jangka panjang selama dalam pejanjian mendatang Israel juga komitmen terhadap gencatan tersebut.


Sebagaimana diketahui, eskalasi terbaru di Gaza tersebut dipicu oleh serangan udara Israel yang menyebabkan Ahmed al-Jaabari gugur sehingga memunculkan balasan dari para pejuang Palestina dengan menghujani sejumlah kota Israel dengan roket. Walaupun perimbangan kekuatan militer yang berat sebelah, namun para pejuang Palestina dapat menimbulkan ketakutan di kalangan penduduk Israel.

Meskipun negeri Zionis tersebut telah memanggil 75 ribu pasukan cadangannya untuk menginvasi Gaza, namun belum dapat dipastikan bahwa Israel memang telah siap untuk berperang lagi. Dalam peperangan berat sebelah kali ini al-Qassam membuat sejumlah kejutan diantaranya keberhasilan roket pejuang Palestina mencapai ibu kota Tel Aviv dan peluncuran roket dari bawah tanah yang belum pernah dilakukan sebelumnya.

Kejutan lainnya yang pantas diperhitungkan angkatan udara negeri Yahudi itu adalah keberhasilan al-Qassam menembak jatuh pesawat F. 16 buatan AS dan dua pilotnya dilaporkan juga berhasil disandera, Sabtu (17/11/2012). TV

Aljazeera sempat menayangkan video penembakan pesawat itu yang didapatkan dari para pejuang Palestina, namun Israel sejauh ini membantah klaim Hamas tersebut.

Laporan tentang keberhasilan penembakan pesawat tempur canggih buatan AS tersebut dan penangkapan kedua pilotnya disambut gembira warga Gaza. Mereka berharap keberhasilan ini mengulangi keberhasilan mereka sebelumnya ketika menangkap prajurit Israel, Gilad Shalit yang pembebasannya dibarter dengan pembebasan seribu warga Palestina yang ditahan Zionis Israel.

Seperti biasa, sebagian besar target serangan udara Israel ditujukan terhadap warga sipil dan instansi pemerintah non militer seperti kantor kabinet yang hancur oleh dua roket pada Sabtu (17/11), hanya beberapa jam sebelum kedatangan Menlu Tunisia, Rafiq Abdessalam dan rombongan tingkat tinggi pemerintah Tunisia. Hingga lima hari serangan atas Gaza sedikitnya lebih 40 warga sipil Palestina dilaporkan syahid dan lebih dari 400 orang luka-luka.

Target serangan mesin militer Zionis atas anak-anak dan perempuan merupakan pelanggaran mencolok terhadap hukum dan konvensi internasional, namun seperti biasa, Barat selalu melimpahkan tangung jawab terhadap para pejuang Palestina sebagai penyebab eskalasi. Barat juga kembali bungkem saat mendengarkan laporan tentang penggunaan senjata terlarang oleh Israel.

Pihak Rumah Sakit al-Syifa Gaza, mengungkapkan fakta di lapangan tentang ketidakwajaran yang menimpa banyak korban warga sipil Palestina dengan tubuh terbakar hangus akibat rudal-rudal Zionis. ''Ini jelas merupakan efek kimia yang terkandung dalam rudal-rudal mereka," papar Alaa Siraj, Humas Rumah Sakit al-Shifa.

Untuk mengantisipasi eskalasi yang dapat dimanfaatkan negeri Zionis itu untuk mengujicoba senjata barunya, Kairo saat ini dijadikan sebagai pusat konsultasi negara-negara kawasan seperti Mesir, Turki, Qatar dan Palestina untuk membahas upaya-upaya meredakan situasi. Paling tidak itulah upaya penting yang dapat dilakukan dalam kondisi ``musim semi`` Arab yang masih belum rampung mengingat masih berkecamuknya perang di Suriah.

Ujian terberat

Terlepas dari berhasil dan tidaknya negara-negara kawasan yang dipimpin Mesir dalam mengupayakan penghentian eskalasi, yang sudah pasti Gaza merupakan ujian pertama dan terberat bagi pemerintah negara-negara musim semi Arab, lebih khusus lagi Mesir.

Pemerintah-pemerintah "Arab spring" dipastikan tidak akan mampu menghadapi ujian Gaza bila eskalasi mendatang menimbulkan pembantaian lagi.

Apa yang sedang terjadi dan kemungkinan buruk mendatang di wilayah itu merupakan ujian yang sulit dipikul pemerintahan Arab Spring yang saat ini masih menyelesaikan urusan dalam negeri masing-masing. Bangsa Arab, terutama rakyat Mesir akan menolak tegas agresi Israel ke Gaza dan musim semi tersebut akan kehilangan makna bila akhirnya dunia Arab tidak mampu membela rakyat Palestina dari pembantaian Zionis.

Apalagi publik Arab di era perubahan saat ini, bukan hanya sekedar menuntut peredaan situasi di Gaza, akan tetapi upaya serius Arab untuk menghentikan pendudukan Israel. Mereka tidak akan sudi melihat proses damai berlarut-larut yang hanya dijadikan para pemimpin Israel sebagai sarana memecah belah faksi-faksi Palestina dan sekaligus sebagai sarana untuk memoles wajah negeri Zionis itu yang bermuluran darah di mata masyarakat internasional.

Karena itu, Mesir yang dipimpin Presiden Muhammad Mursy tidak ingin mengulangi kesalahan rezim sebelumnya yang hanya tunduk kepada tekanan AS dan Israel. Apa yang tidak mungkin dilakukan dua tahun lalu, sekarang telah berubah dan Presiden Mursi telah mengemukakannya saat khutbah Jum`at (16/11/2012) di salah satu masjid di Kairo, "Mesir hari ini bukan Mesir kemarin dan kami tidak akan membiarkan Gaza sendiri serta tidak akan berpangkutangan melihat serangan Israel."

Untuk jangka pendek mendatang, bisa jadi Mesir dan negara-negara Arab lainnya tidak akan terlibat langsung dalam perang melawan Israel, akan tetapi sejumlah langkah yang telah diambil menunjukkan bahwa negeri Lembah Nil itu memang telah berubah. Pengusiran duta besar dan diplomat Israel dari Kairo serta pemanggilan duta besar Mesir dari Tel Aviv adalah langkah tepat yang sulit dibayangkan akan terjadi pada masa rezim Mubarak.

Sejumlah analis Arab menyebutkan bahwa langkah Mesir tersebut akan menjurus kepada pembatalan perjanjian Camp David yang selama ini sebagai biang keterpurukan Arab. Untuk memompa semangat perjuangan para pejuang Palestina di Gaza, Presiden Mursy pun mengutus PM Hisyam Qandil memimpin delegasi tingkat tinggi Mesir.

Hisyam bahkan diutus langsung ke Gaza mengunjungi korban-korban serangan Israel. Mesir bahkan mengancam Israel dan mengaku tak akan tinggal diam.

Kunjungan tersebut juga sebagai bentuk solidaritas yang belum pernah terjadi sebelumnya sejak Gaza terlepas dari pendudukan Israel pada 2005. Sehari setelahnya, Menlu Tunisia, Rafiq Abdessalam dan rombongan juga melakukan kunjungan solidaritas dan meninjau langsung gedung kabinet yang hancur yang sedianya sebagai tempat pertemuan dengan para pemimpin pemerintahan Hamas.

Pedua pejabat tinggi Arab itu, sama-sama mengingatkan Israel bahwa Arab telah berubah dan semua yang boleh sebelumnya, sekarang sudah tidak mungkin lagi dilakukan semena-mena. Memang tidak ada pasukan yang dikirim dan bantuan senjata yang disalurkan kepada para pejuang, namun langkah tersebut perlu diapresiasi sebagai langkah awal untuk memperkuat solidaritas Arab yang nantinya dapat berujung kepada pengefektifan kembali

pakta pertahanan bersama Arab yang sempat terkubur sejak persetujuan Camp David 1978.
Sebagai dua negara yang paling awal memulai proses "musim semi Arab", Mesir dan Tunisia nampaknya ingin membuktikan kepada publik Arab bahwa salah satu indikasi utama keberhasilan musim semi tersebut adalah kembalinya isu Palestina sebagai isu sentral dunia Arab. Karenanya, kedua negara ini, mencoba sebagai pemrakarsa Arab untuk membali memperjuangkan isu Palestina dengan serius.

Masalah Palestina yang menjadi isu sentral bangsa Arab tidak mungkin terus menerus hanya sebagai slogan kosong tanpa aksi nyata di era perubahan yang melanda dunia Arab dewasa ini. Hampir dipastikan juga bahwa negara-negara Arab yang ditengarai masih menjalin persekutuan erat dengan AS tidak akan bisa lagi selalu mengiyakan negeri Paman Sam itu karena prioritas kebijakan Arab mendatang adalah memperjuangkan tercapainya penyelesaian dan berdirinya negara Palestina merdeka bukan mengupayakan perundingan ke perundingan tanpa penyelesain.

Reposisi Arab

Krisis Gaza kali ini juga akhirnya mampu membangunkan tidur panjang Arab selama lebih dari tiga dekade. Melalui forum Konferensi Tingkat Menlu (KTM) darurat yang berlangsung di Kairo, Sabtu malam (17/11/2012), seluruh Menlu dan Wakil Tetap (Watap) yang hadir sepakat tentang perlunya meninjau kembali posisi (reposisi) mengenai hubungan dengan Israel.

KTM tersebut juga merekomendasikan untuk meninjau ulang usulan proses damai yang pernah diajukan Liga Arab atas prakarsa Arab Saudi pada KTT Arab di Libanon pada 2002. Sejauh ini Israel selalu mengabaikan usulan tersebut yang tentunya berdampak terhadap kondisi rakyat Palestina.

Sekjen Liga Arab, Nabil al-Arabi mengatakan, negara Arab harus mengambil keputusan tegas menghentikan semua perjanjian damai dengan negara Yahudi tersebut yang dinilai sebagai langkah final dan jawaban untuk mendesak Zionis Israel menghentikan rangkaian serangan ke Gaza dan membebaskan Palestina. "Arab harus berinisiatif dan meninjau ulang semua perjanjian damai,'' kata al-Arabi saat pertemuan darurat Liga Arab itu.

Gayung bersambut, Menlu Mesir, Qatar, Menteri Negara Arab Saudi (mewakili Menlu), Menlu Tunisia diantaranya mengamini pernyataan Sekjen Liga Arab tersebut. Bahkan PM/Menlu Qatar, Hamad Bin Jassem mengingatkan dunia Arab untuk melakukan aksi nyata jangan hanya sekedar keputusan di atas kertas sebagaimana tradisi keputusan Liga Arab selama ini.

“Dunia Arab telah berubah, publik akan menilai kerja kita. Rakyat Palestina membutuhkan transparansi dengan menjanjikan sesuatu yang mungkin kita lakukan saat ini seperti bantuan materi dan politis sebab kondisi bangsa Arab dewasa ini belum memungkinkan untuk membantu mereka secara militer," tegas Hamad.

Apapun jenis bantuan yang dapat diberikan Arab kepada Palestina guna mampu terus bertahan dan merasa tidak sendirian menghadapi penjajahan Israel adalah sesuatu kemajuan penting, karena solidaritas semacam ini juga sangat dikhawatirkan para pemimpin Zionis.

Keinginan kuat Liga Arab untuk mereposisi hubungan dan perdamaian dengan Israel juga sebagai kemajuan penting setelah sekian lama tidur panjang menikmati buaian tipu daya negeri Zionis itu.[]

Sana`a, 4 Muharram 1434 H

*Penulis kolumnis hidayatullah.com, tinggal di Yaman

*http://www.hidayatullah.com/read/25921/19/11/2012/gaza-akhirnya-bangunkan-tidur-panjang-arab.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar