Jumat, 16 November 2012

Pertemuan Terindah Ku Inginkan

Ilustrasi Nikah
“ Bang, saya sudah menentukan pilihan”.
Aku memulai pembicaraan ini dengan murabbi-ku, sambil menyodorkan sebuah proposal pada beliau. Seminggu yang lalu, aku mantap bicara dengan murabbi-ku bahwa aku sudah siap menikah, dan hari ini aku sudah menentukan pilihanku, seorang akhwat yang cukup ku kenal. Sebelumnya aku sempat istikharah dulu, karena jujur aku gugup dan takut salah mengambil keputusan dari beberapa proposal yang diberikan padaku. Hari ini, Insya Allah aku mantap.
“Kapan Antum mau ngasih CV ke ane?”
“Insya Allah malam ini saya kirim Bang, kirim email apa hardcopy?”.karena jarak tempuh yang lumayan jauh.
“Thayyib, semoga Allah mudahkan prosesnya ya!” Si akang pergi meninggalkan saya, tersenyum, dan itu membuat hati ini lega. Semoga dimudahkan, Aamiin.

***
“Tito, Alhamdulillah kegiatan Bakti Sosial kampus proposalnya udah kelar, tinggal menunggu dana dari fakultas aja”, ucap seorang akhwat padaku, saat rapat tim ketua Bakti Sosial kampus.
Belum pernah aku segugup ini memimpin rapat. Aku mencoba istighfar berkali-kali. Seperti ada yang salah, seperti ada yang aneh. Ya, sikap akhwat itu membuatku aneh dan gugup.
“Oke, kira-kira kapan  dana fakultas turun, dan juga Insya Allah tim Danus kita akan segera mencari sponsor minggu ini, jika ada yang berminat ikutan, langsung koordinasikan ke saya aja ya Widya!”
“Oke”, jawabnya.
***
Widya, Ia lah akhwat yang proposalnya sampai di tanganku sejak dua bulan lalu. Ia lah akhwat yang sudah aku pelajari seluruh CV, visi dan misinya, melalui murabbiku. Dan Ia lah akhwat yang aku pilih dan sekarang mungkin sedang melihat proposalku, semua tentangku.
Tidak seperti biasanya, aku yang awalnya biasa-biasa saja padanya, hari ini agak gugup berbicara dengannya. Anehnya, Widya tidak terlihat gugup sama sekali, bahasanya mantap, tegas, seperti biasanya. Seolah-olah tidak terjadi apa-apa di antara kami. Semoga hati ini tetap terjaga dari hal-hal yang tidak diinginkan.
***
Sikap Widya tidak berubah sama sekali, sangat biasa. Bukannya aku ingin dianggap special olehnya, tentu saja tidak, tapi aku hanya sedikit ragu. Mungkin saja Widya tidak menyukai ku, menolak proposalku. Sebaiknya aku bertanya pada murabbi-ku.
“Kang, proposal saya udah nyampe ke akhwat belum?
“Sudah Akh, ada apa?”
“Kapan kang saya bisa ta’aruf dengan Nissa?”
“Insya Allah jawaban akhwat akan datang 2 minggu lagi”.
Aku tutup teleponnya. Semoga apapun jawabannya, aku bisa ikhlas, dan yakin itu adalah jawaban terbaik.
***
“Tito, saya mau minta tanda tangannya besok, bisa?”
Sebuah pesan singkat dari Widya.
Ini kesempatan ku untuk bertanya sedikit tentang proses kami, gumamku.
“Bisa, besok ketemu di kantin aja”.
***
Suasana kantin begitu ramai pagi ini, mahasiswa mulai sibuk dengan aktivitas rutinnya. Aku, Widya  dan tim rapat bakti social kampus sudah melingkar di salah satu meja. Kita saling sharing tentang progress tiap-tiap seksi. Sesekali saya melihat Widya , sama sekali Ia terlihat biasa.
Besok murabbi-ku akan mengabarkan jawaban Widya  Lagi-lagi, saya tidak berharap banyak, hanya mengharapkan yang terbaik.
“Tito, selamat, Beliau mengiyakan lamaran ta’aruf Antum. Jadi kapan Tit?”
“Alhamdulillah”, jawaban yang melegakan dan membahagiakan.
Malam itu aku berdoa, bermuhasabah diri, meminta yang terbaik. Jika memang beliau lah istriku kelak, maka mudahkan proses kami. Jika tidak, lapangkan lah dada kami. Berilah kami kesabaran.
***
“Assalamu’alaikum”, suara yang tidak asing lagi, suara Widya.
“Wa’alaikumsalam”, jawab ku dan murabbi-ku.
Widya datang dengan gamis biru, bersama teh Muthiah, murabbinya. Anggun.
Hari ini kita tidak banyak mengobrol. Masih saling malu-malu mungkin. Aku banyak bertanya, sedangkan Widya hanya menjawab seperlunya. Widya tidak tampak bahagia, juga tidak tampak bersedih, ekspresinya datar.
“Udah ya Tito, jangan banyak tanya lagi, kan kalian udah hampir 3 tahun di kampus yang sama, di kegiatan yang sama, jadi ga perlu nanya-nanya lagi lah”, ucap murabbi ku mengakhiri.
Widya hanya tersenyum mendengar itu. Aku bersyukur, akhirnya Ia tersenyum juga.
Suasana hatiku agak sedikit berbeda hari ini.
***
Pertemuan demi pertemuan telah aku jalani. Kita sudah saling sharing visi dan misi, mulai dari hal-hal sepele, hingga hal-hal krusial seperti masalah bersedia dipoligami atau tidak, bolehkah Widya bekerja saat nanti kita menikah atau tidak, tentang tempat tinggal dan lain-lain. Alhamdulillah sejauh ini prosesnya lancar. Dan belum ada yang tau.
Insya Allah, bulan depan aku dan Widya akan akad nikah. Berita baik itu pun mulai tersebar ke penjuru kampus. Banyak doa dan ucapan selamat berdatangan.
***
“Sah!” ucap seluruh hadirin yang hadir pagi ini.
Indahnya Islam mengatur tentang pernikahan. Begitu suci. Hari ini, aku bertanggung jawab atas apapun yang berkaitan dengan Widya, istriku.
Widya, kenapa saat ta’aruf sikap Widya biasa-biasa saja? Berbeda dengan hari ini? Apakah dulu Widya tidak senang?” tanyaku memulai pembicaraan.
“Akang, sebenarnya, dulu, Widya lah yang meminta ingin menjadi istrimu. Saat Widya merasa sudah cukup pantas untuk menikah, Widya utarakan niat baik itu pada teh Muthiah. Dan Alhamdulillah Allah menjawab semua doa-doa Widya  melancarkan semua prosesnya, hingga suatu hari proposal Widya jatuh ke tangan mu”.
Aku kaget. Terdiam. Mengingat kembali kejadian beberapa bulan yang lalu. Mengingat kembali saat pertama kali aku membaca proposal, hingga pilihanku jatuh pada Widya.  Hingga aku mulai merasakan rasa yang berbeda padanya, hingga aku mulai mantap untuk menikahinya. Subhanallah cara Allah mengatur pertemuan ini, begitu Indah.
Ternyata jauh sebelum pertemuan terindah ini ada, jauh sebelum benih-benih cinta ini tumbuh, Widya telah berdoa untukku, telah berdoa untuk pertemuan ini.
“Aku mencintaimu, Istriku”, ucapku menutup malam yang indah itu.

Penulis : Arnova Reswari
Editor : Warsito

1 komentar:

ito al-fath mengatakan...

Aku memulai pembicaraan ini dengan murabbi-ku, sambil menyodorkan sebuah proposal pada beliau. Seminggu yang lalu, aku mantap bicara dengan murabbi-ku bahwa aku sudah siap menikah, dan hari ini aku sudah menentukan pilihanku, seorang akhwat yang cukup ku kenal. Sebelumnya aku sempat istikharah dulu, karena jujur aku gugup dan takut salah mengambil keputusan

Posting Komentar