“Assalamu’alaikum. Akh, pekan depan bisa ngisi
pengajian di majelis taklim mushalla Al-Ikhlas akh? Materinya tentang
pentingnya akhlaq dalam pergaulan. Syukron”
“Ya. Insya Allah akh”.
Hampir
tiap pekan akh Farid mendapatkan sms atau telepon seperti itu. Dari
yang sekedar ngisi kultum sampai menjadi khatib Jum’at. Wajar saja,
karena ia kuliah di salah satu kampus syariah ternama di kotanya. Namun
tidak hanya itu, ia juga aktif dalam kegiatan sosial di lingkungannya.
“Akh
Farid, pekan depan ada pengobatan gratis dan bazzar juga. Tempatnya di
dekat rumah Antum. Bisa kan Antum kondisikan dan sekaligus publikasi
buat acaranya.”
“Siap akh. Insya Allah. Berapa target pesertanya?”
“Kalau untuk pengobatan 100 orang Akh, kalau bazar mah satu kampung aja Ente ajak, biar laris dagangan kita.. Haha”
“Haha… Oke bro.. Siap laksanakan.. Kalau begitu Ana duluan. Langsung persiapkan strategi nih. Assalamu’alaikum”
“Waalaikumsalam”
Farid
bergegas meninggalkan masjid, tubuhnya yang tegap meski sedikit kurus
melangkah dengan cepat menuju sepeda motor yang diparkir di halaman. Itu
memang sifatnya. Selalu bersegera dalam menyambut amal dakwah.
Ini data ibu-ibu RW 4, ini RW tetangga, em.. gimana kalau RW tetangga diajak juga biar tambah rame. . Pikir Farid.
Kamar kosnya yang berukuran 3×3 meter itu dipenuhi dengan berkas dan data warga yang sering ikut dalam kegiatan sosial.
Ada
juga data peserta majelis taklim rutin di mushalla. Kamar itu seakan
menjadi kantor besar yang penuh dengan gagasan dan rencana masa depan.
Malam itu, saat teman-teman yang lain sudah pulang dari “lingkaran
malam”, Farid berbincang dengan murabbinya.
Semilir angin dingin yang menusuk menemani perbincangan malam itu.
Semilir angin dingin yang menusuk menemani perbincangan malam itu.
“Afwan, Ustadz, sebenarnya, ada yang ingin Ana sampaikan sama ustadz.”
“Iya, akh, Tafadhal, Ana siap mendengarkan.”
“Sebenarnya sejak beberapa bulan yang lalu, pikiran Ana sedikit terganggu ustadz.
ini mungkin yang menyebabkan kerja-kerja dakwah ini sedikit berkurang.”
ini mungkin yang menyebabkan kerja-kerja dakwah ini sedikit berkurang.”
“Memangnya, apa yang Antum pikirkan?”
“Dalam
setiap agenda-agenda dakwah, Ana selalu bertemu dan bekerja dalam
bidang yang sama dengan seorang akhwat. Awalnya sih biasa aja, Ana tetap
menjaga hijab dan pergaulan. beliau pun juga demikian sangat menjaga
hijab dan pandangannya. Namun lama-lama, entah kenapa, ane selalu
menanti-nanti agenda-agenda sosial datang, selalu menanti saat rapat
tiba, bahkan kalau belum ada, Ana sendiri yang inisiatif mengadakan
agenda. Dan sekarang, pikiran ane jadi aneh ustadz, sering melamun,
semangat yang naik turun, dan yang lebih parah lagi, selalu saja ingin
bertemu dengan akhwat itu.”
“Antum sedang jatuh cinta akhi..”
“Jatuh cinta?? Apa iyah ini yang namanya cinta ustadz?? Ane hanya kagum aja sama beliau.”
“Iyah, itu cinta, cinta bisa timbul karena rasa kagum. Kalau memang Antum sudah siap, dan berani, Ana bisa bantu akhi”.
“Maksudnya Ustadz??”
“Iya,
Ana bantu ta’aruf dengan akhwat itu, daripada Antum galau kayak gini,
lebih baik dihalalkan saja”, papar ustadz dengan tegas.
“Aduh, Ana
gak berani ustadz, Ana belum siap sepertinya, tabungan Ana aja masih
sedikit, Ana masih kuliah sambil ngajar les dan bimbel. Ana masih harus
nabung dan siapin mental dulu nih ustadz.”
“Ya sudah, kalau belum siap. nanti kalau udah, Antum bisa hubungi Ana ya”
“Iya Ustadz, insya Allah. Syukron ustadz. Sudah malam. Ana pamit dulu. Assalamu’alaikum.”
“Iyah. Afwan, alaykumsalam”
Farid
menjadi lebih bersemangat, setelah curhat pada malam itu, ia semakin
bersemangat dalam aktivitasnya, ia mulai menabung dan mempersiapkan ilmu
rumah tangga. Setelah beberapa bulan, akhirnya Farid bertemu dengan
ustadznya, persis sama dengan malam ketika ia mencurahkan hatinya kepada
sang Ustadz. Setelah teman-temannya pulang dalam lingkaran ukhuwah itu,
ia mengutarakan maksudnya.
“Ustadz, afwan, Ana insya Allah
sekarang sudah siap, tabungan Ana juga sudah cukup sepertinya. Gimana
nih ustadz, kapan kira-kira Ana bisa ta’aruf dengan akhwat itu?”
Sang Ustadz kemudian meminum teh hangat di depannya, sambil mengambil nafas dalam-dalam, ia kemudian bercerita,
“Afwan akhi, sepertinya, Ana gak bisa membantu Antum untuk ta’aruf dengan akhwat itu”.
“Loh, memang kenapa Ustadz? Bukannya waktu itu Antum mau membantu Ana ta’aruf dengannya?”
“Iyah
Akhi, masalahnya, akhwatnya sudah dikhitbah oleh lelaki lain. Afwan,
kabar ini baru Ana dapatkan minggu lalu, dan baru Ana kabarkan ke Antum
malam ini.”
Hening… sunyi… malam itu, Farid terdiam, perasaannya
tak menentu, kadang ada rasa menyesal, kadang marah, kadang sabar dan
pasrah, segalanya membaur dalam hati dan pikirannya.
Malam itu, ia pulang dengan tertunduk. Badannya yang tegap tiap kali melangkah, sekarang terlihat bungkuk dan lemah.
Ia
marah, terhadap dirinya, terhadap kehendakNya yang tidak sesuai dengan
harapannya. Malam itu, seakan semuanya gelap, ia sudah tidak bisa
melihat dengan jernih, emosinya, amarahnya, rasa kesalnya, telah
menutupi hati dan pikirannya.
“Sudah kumpul semua nih, afwan, Ana agak terlambat, tadi anak Ana agak sedikit panas, alhamdulillah, sekarang sudah tidur”
“Afwan, ustadz, akh Farid belum datang, sudah Ana sms dan telepon, tapi tidak ada jawaban.”
“Oh gitu, sudah coba cek ke rumahnya?”
“Belum ustadz”
“Thayyib, gak apa-apa, mungkin beliau telat dan ada urusan, kita mulai aja. MC-nya siapa malam ini?”
“MC-nya akh Irsad, khatirul imaniyah akh Rijal, konsumsi biasa, tuan rumah, hehe”
Setelah
hampir satu bulan, akh Farid tidak pernah datang dalam halaqah pekanan,
pun dalam agenda-agenda rabthul’am, dan dalam agenda-agenda dakwah.
Teman-temannya sudah tidak bisa membujuknya, segala cara sudah
dilakukan, namun, tetap tiada hasilnya.
akh Farid semakin sulit untuk diajak kembali. Cinta, telah membuatnya buta, dan mundur tanpa berita.
akh Farid semakin sulit untuk diajak kembali. Cinta, telah membuatnya buta, dan mundur tanpa berita.
sumber : dakwatuna.com
1 komentar:
Masya Allah, itu bukannya pengalaman antum sndiri ya akh...hahahaha :)
peace,
Prukuthuk...
Wassalamualaikum warahmatullah...
Posting Komentar