dakwatuna.com - Doa peneduh jiwa yang sedang
terbalut oleh kalut, sedih dan gundah. Ia memberi ruang tersendiri bagi
mereka yang ingin mendekatkan diri kepada Sang Maha Pencipta. Akan
tetapi, kadang kita mengira sesuatu yang dipanjatkan itu belum juga
terpenuhi, sehingga dengan sendirinya hati pun bertanya-tanya dan
berkata:
“Kenapa yah, doa-doaku tidak terkabulkan? Apa yang
salah dalam diri ini? Bukankah aku telah menunjukkan kehambaanku
kepada-Nya dengan doa-doa itu?”
Pertanyaan-pertanyaan seperti ini telah dijawab dengan jelas kedua ayat berikut ini:
ادْعُوا
رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً ۚ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ
﴿٥٥﴾ وَلَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلَاحِهَا وَادْعُوهُ
خَوْفًا وَطَمَعًا ۚ إِنَّ رَحْمَتَ اللَّهِ قَرِيبٌ مِّنَ الْمُحْسِنِينَ
﴿٥٦﴾
“Berdoalah kepada Tuhanmu dengan merendah diri
dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
yang melampaui batas. Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi,
sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa
takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya
rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-A’raf [7]: 55-56)
Hemat
penulis, doa yang terkabulkan adalah doa yang mematuhi adab doa yang
dijelaskan ayat di atas. Adab-adab tersebut dapat diuraikan sebagaimana
berikut:
Adab pertama: Berdoa dengan penuh rendah diri dan suara lemah lembut
Para
pakar tafsir berbeda dalam memaknai kata (التَّضّرُّعُ). Imam Ibn Jarir
at-Thabari cenderung menafsirkannya dengan makna rendah diri, merasa
hina, dan berupaya menghadirkan kedamaian hati di setiap doa.[[1]]
Penalaran ini disepakati kebanyakan penafsir yang datang setelahnya, seperti: al-Allâma Abu Hayyân, dan al-Hâfidzh Ibn Katsîr.[[2]]
Di lain pihak, al-Qâdhi Ibn Atiyyah menafsirkannya dengan doa yang terdengar jelas. Beliau berkata:
“Kata at-Tadarru’ (التَّضّرُّعُ)
menghendaki kejelasan suara, karena kata itu sendiri tidak dipergunakan
kecuali pada permintaan yang disertai dengan pelbagai isyarat dan
gerakan tubuh.” [[3]]
Pemaknaan ini dilegitimasi al-Allâma Muhammad Thâhir bin Asyûr dalam pernyataannya berikut ini:
“(التَّضَرُّعُ) artinya: menunjukkan kerendahan diri dengan perihal tertentu. Olehnya itu (التَّضَرُّعُ)
adalah doa yang disertai dengan suara yang jelas. Inilah penafsiran
yang kami pilih karena menunjukkan keserasian makna (antonim) antara
kata tersebut dengan kata (الحَفِيَّة), yang artinya: berdoa dengan suara yang lemah lembut. Olehnya itu, kata penghubung (الواو) huruf (Waw) yang sering kali diartikan dengan makna (dan), di sini ia berfungsi seperti (أَوْ) huruf
(Aw), yang berarti atau. Artinya: Anda boleh memanjatkan doa dengan
suara yang terdengar jelas atau dengan suara yang lemah lembut (tidak
ada yang mendengarkannya kecuali Anda sendiri).”[[4]]
Hemat
penulis, kata (التَّضَرُّعُ) meliputi kedua pemaknaan itu. Al-Qur’an
sengaja menempatkan kata tersebut untuk menyuguhkan makna ini:
“Wahai
hamba-hamba-Ku yang beriman! Berdoalah dengan penuh kerendahan diri dan
kekhusyukan, baik di waktu berdoa dengan suara yang jelas, atau dengan
suara yang lemah lembut.”
Hal ini dipertegas oleh kesimpulan Ustadz Muhammad Râsyîd Ridhâ di bawah ini:
“Kedua
bentuk doa itu punya waktu tersendiri. At-Tadarru’ dengan suara yang
jelas bagus dan tepat di waktu menyendiri, aman dari penglihatan orang
lain, sehingga mereka tidak merasa terusik dengan suara itu, dan
perhatian orang yang berdoa tidak disibukkan dengan mereka dari
konsentrasi membujur kepada Allah SWT, serta doanya tidak rusak dengan
ria dan ujub.
Sementara itu, At-Tadarru’ dengan lemah
lembut (yang hanya didengar olehnya sendiri) baik dan tepat di tempat
terbuka, atau saat berada di khalayak ramai, seperti: Masjid dan di
tempat yang menghidupkan syiar-syiar agama, kecuali pada waktu yang
dibolehkan mengangkat suara, seperti: talbiyah di haji, takbir di kedua
shalat Id. Itu boleh karena pelaksanaan ibadah-ibadah seperti ini
dikerjakan secara saksama dan jauh dari puji diri.” [[5]]
Olehnya itu, ayat ini ditutup dengan firman-Nya:
(إِنَّ اللَّهَ لاَ يُحِبُّ المُعْتَدِيْن)
Maksudnya,
dalam kondisi bagaimanapun, Anda tidak dibolehkan melampaui batas yang
wajar dalam berdoa. Di antara hal yang tidak diperbolehkan dalam berdoa
telah dicontohkan alQâdhi Ibn Atiyyah berikut ini:
“Kalimat
tersebut meskipun maknanya umum, tetapi karena ia dalam konteks doa,
maka ia mengisyaratkan hal-hal yang tidak boleh dilakukan dalam berdoa.
Di antara hal tersebut, seperti: berteriak-teriak meminta. Ini telah
diperingatkan Rasul Saw kepada kaum yang terlalu membesarkan suara pada
saat takbir, beliau bersabda: (Wahai manusia, rendahkanlah suaramu,
sesungguhnya engkau tidak berdoa kepada yang tuli, atau kepada yang
gaib).[[6]]Dan
yang lainnya lagi, seperti: meminta kedudukan yang sederajat dengan
nabi, atau meminta sesuatu yang mustahil terjadi, serta berdoa melakukan
kemaksiatan.”[[7]]
Kata
(المُعْتَديْن) yang melampaui batas dapat juga menjadi teguran terhadap
mereka yang memahami bahwa doa itu tidak lain kecuali sarana memenuhi
segala keinginan. Telaah mendalam seperti ini telah diperlihatkan Syekh
Mutawalli as-Sya’râwî berikut ini:
“Hindarkan diri Anda untuk tidak berdoa kecuali ingin memenuhi hajat semata!
Yang wajib Anda lakukan berdoa dengan memperlihatkan kepada-Nya kerendahan diri, kehinaan dan kekhusyukan, karena seandainya saja Anda tidak berdoa, maka segala urusan Anda terjadi sesuai dengan garis ketentuan ilahi. Jangan pernah mengira bahwa Anda berdoa supaya terwujud harapan-harapan Anda, karena Allah SWT Maha Suci untuk Anda jadikan sebagai pegawai Anda. Inilah aturan baku yang Allah tetapkan dalam memenuhi tuntutan-tuntutan Anda sekalian.”[[8]]
Yang wajib Anda lakukan berdoa dengan memperlihatkan kepada-Nya kerendahan diri, kehinaan dan kekhusyukan, karena seandainya saja Anda tidak berdoa, maka segala urusan Anda terjadi sesuai dengan garis ketentuan ilahi. Jangan pernah mengira bahwa Anda berdoa supaya terwujud harapan-harapan Anda, karena Allah SWT Maha Suci untuk Anda jadikan sebagai pegawai Anda. Inilah aturan baku yang Allah tetapkan dalam memenuhi tuntutan-tuntutan Anda sekalian.”[[8]]
Hematnya,
tujuan doa memperlihatkan kehambaan kita kepada Allah SWT, diterima
atau tidaknya doa tersebut itu permasalahan kedua. Karena jika ia
terkabulkan, maka itu adalah karunia-Nya, dan jika tidak terkabulkan itu
pun karunia-Nya. Di sana ada kemaslahatan di balik penerimaan,
penolakan, dan penundaan dari terkabulkannya doa yang jauh dari
pengetahuan manusia sendiri.
Adab kedua: Jangan melakukan kerusakan di bumi!
Al-Qâdhi Ibn Atiyyah berkata:
“Firman-Nya: (وَلاَ تُفْسِدُوْا فِي الأَرْضِ بَعْدَ إِصْلاَحِهَا)cakupannya
sangat umum, meliputi segala bentuk kerusakan, baik yang besar atau
kecil, setelah adanya perbaikan. Olehnya itu, tujuan pelarangan tersebut
bersifat umum, dan tidak boleh dijustifikasi buta terhadap satu jenis
kerusakan, karena hukum seperti ini menyalahi seruan tersebut.”[[9]]
Di
antara bentuk kerusakan yang sering dipaparkan Al-Qur’an dalam konteks
doa, perilaku sebagian kelompok yang kembali kepada kesesatan setelah
doanya terkabulkan dari sebuah bencana dan kesulitan. Ini tercatat
dengan begitu apik di ayat-ayat berikut ini:
Ayat pertama: “Dan
ketika mereka ditimpa azab mereka pun berkata: (Hai Musa, mohonkanlah
untuk kami kepada Tuhamnu dengan kenabian yang diketahui Allah ada pada
sisimu. Sesungguhnya jika kamu dapat mengangkat azab itu dari kami,
pasti kami akan beriman kepadamu dan akan kami biarkan Bani Israil pergi
bersamamu). Maka setelah Kami hilangkan azab itu dari mereka hingga
batas waktu yang mereka sampai kepadanya, tiba-tiba mereka
mengingkarinya.” (QS. Al-A’raf [7]: 134-135]
Di ayat lain firman-Nya: “Dan
apabila manusia ditimpa bahaya dia berdoa kepada Kami dalam keadaan
berbaring, duduk atau berdiri, tetapi setelah Kami hilangkan bahaya itu
daripadanya, dia (kembali) melalui (jalannya yang sesat), seolah-olah
dia tidak pernah berdoa kepada Kami untuk (menghilangkan) bahaya yang
telah menimpanya. Begitulah orang-orang yang melampaui batas itu
memandang baik apa yang selalu mereka kerjakan.” (QS. Yunus [10]: 12)
Hemat
penulis, telah jelas bahwa faedah doa bukan hanya terbatas dari hajat
yang terpenuhi seketika itu, tetapi bagaimana menjaga kemurahan dan
karunia Allah tersebut supaya tidak pergi dengan sendirinya. Tentunya,
tidak ada cara lain untuk menjaganya kecuali tetap berada di jalan
Allah. Apalah artinya doa yang terkabulkan pada suatu waktu, tetapi di
waktu-waktu lain kita kembali terjerumus dalam kemungkaran dan
kemaksiatan. Faedah doa bukan hanya ingin dilihat hari ini dan esok,
tetapi faedahnya ingin dipetik di akhirat. Doa yang berkah doa yang
senantiasa mengatakan seperti ini:
“Wahai diriku yang
terkabulkan doanya! Aku sebenarnya enggan menyuguhkan kenikmatan ini
jika di lain hari engkau kembali mengingkari Tuhanmu. Jagalah nikmat ini
dengan tidak kembali menengok dunia hitam, apalagi jatuh di lembah
kemaksiatan! Aku ingin senantiasa dipetik hari ini, esok dan di akhirat,
bukan hanya sehari, kemudian melupakan Sang Maha Pemberi yang telah
menjadikan aku fasilitas gratis guna mendekatkan dirimu kepada-Nya.”
Adab ketiga dan keempat: takut doa tidak diterima dan berharap penuh dikabulkan
Makna ini dijustifikasi Syekh al-Alûsî sebagai makna yang banyak dipilih oleh pakar tafsir. Beliau berkata:
“Firman-Nya: (ادْعُوْهُ خَوْفًا وَطَمَعًا)
artinya: berdoalah dengan penuh rasa takut dari doa yang tidak mustajab
karena ketidaklayakan Anda untuk menjadi orang-orang yang doanya
mustajab, dan jangan pernah putus asa untuk senantiasa berharap penuh
terhadap jawaban-Nya sebagai karunia untukmu dari-Nya. Inilah pilihan
kebanyakan mufassir.”[[10]]
Di lain sisi, Syekh Mutawalli as-Sya’rawî memaparkan makna yang cukup luas, beliau berkata:
“Di sini Al-Qur’an menjelaskan adab lain berdoa, yaitu: (ادْعُوْهُ خَوْفًا وَطَمَعًا) artinya: takutlah dari segala bentuk manifestasi nama-Nya (القَهَّارُ) yang Maha Menaklukkan, dan berharaplah dengan segenap harapan dari segala bentuk manifestasi nama-Nya (الغَفَّارُ) yang Maha Pengampun, dan (الرَّحِيْمُ) yang
Maha Pengasih. Berdoalah dengan penuh rasa takut dari segala bentuk
ketergantungan sifat keperkasaan-Nya, dan berharaplah mendapatkan
karunia dari segala bentuk ketergantungan sifat keindahan dan
kemurahan-Nya.” [[11]]
Hemat
penulis, kedua teks tersebut saling melengkapi dalam memberikan sebuah
pemaknaan. Karena jika doa terkabulkan, maka segala aneka karunia dan
kenikmatan yang ada di khazanah sifat-sifat keindahan dan kemurahan-Nya
tercurahkan dengan sendirinya melebihi volume curah hujan. Akan tetapi,
jika doa tidak terkabulkan, maka dengan sendirinya pula turun azab yang
datang dari keperkasaan dan keagungan-Nya.
Olehnya itu, kedua
kelompok kata yang ada pada ayat itu mustahil dipisahkan, demi
terciptanya pemaknaan yang apik dan sempurna. Maha Suci Allah yang telah
memilih kosa kata Al-Qur’an dan menempatkannya di tempat yang layak
untuknya, pemilihan dan penempatan yang jauh dari kesanggupan para ahli
bahasa.
Di penghujung tulisan singkat ini, saya yakin pemerhati
tema-tema keislaman dengan mudah menyimpulkan apa yang ada di atas dan
berkata:
“Doa adalah otak ibadah, tetapi tidak semua doa punya
ketinggian derajat seperti itu. Doa yang sampai ke derajat itu adalah
doa yang mustajab. Doa mustajab doa yang dipanjatkan dengan penuh rendah
diri dan khusyuk, takut tidak diterima serta berharap penuh dikabulkan.
Doa mustajab itu bukan hanya hasilnya dipetik hari ini. Akan tetapi ia
senantiasa dipetik hari ini, esok dan di akhirat. Carilah dengan doa
karunia dan kenikmatan-Nya yang ada pada khazanah sifat keindahan dan
kemurahan-Nya, dan hindari dengan doa pula azab-Nya yang ada pada sifat
keperkasaan-Nya!”
Catatan Kaki:
[1] Lihat: Imam Ibn Jarir at-Thabari, Tafsir at-Thabari, vol. 12, hlm. 485
[2] Lihat: al-Allâma Abu Hayyân, al-Bahru al-Muhîth, vol. 4, hlm. 312, dan al-Hâfidzh Ibn Katsîr, Tafsir Ibn Katsîr, vol. 6, hlm. 321
[3] Lihat: al-Qâdhi Ibn Atiyyah, al-Muharrâr al-Wajîz, vol. 2, hlm. 410
[4] Lihat: al-Allâma Muhammad Thâhir bin Asyûr, at-Tahrîr wa at-Tanwîr, vol. 8, hlm. 172
[5] Ustad Muhammad Râsyîd Ridhâ, Tafsir al-Manâr, vol. 8, hlm. 457
[6] Hadit ini dikeluarkan Imam al-Bukhârî di Shahîhnya dari
Abi Musa al-Asyarî r.a, kitab as-Siyar wa al-Jihad, bab Mâ Yukrah min
Raf’i as-Shawt fi at-Takbîr, hadits, no. 2992, hlm. 824
[7] Lihat: alQâdhi Ibn Atiyyah, Op.Cit, vol. 2, hlm. 410
[8] Syekh Mutawalli as-Sya’râwî, Tafsir as-Sya’râwî, vol. 7, hlm. 4174
[9] Lihat: alQâdhi Ibn Atiyyah, Op.Cit, vol. 2, hlm. 410
[10] Lihat: Syekh al-Alûsî, Ruhul Maânî, vol. 8, hlm. 140
[11] Lihat: Syekh Mutawalli as-Sya’rawî, Op.Cit, vol. 7, hlm. 4180
Tidak ada komentar:
Posting Komentar