Jumat, 16 Desember 2011

Pembagian “Peran Domestik” yang Berkeadilan dalam Keluarga

Oleh : Cahyadi Takariawan dan Ida Nur Laila (Jogja Family Center)

Ketika kita memasuki dunia keluarga, sering ada tradisi yang berkembang di berbagai kalangan masyarakat, bahwa ada peran domestik yang menjadi “kewajiban” isteri, dan ada peran publik yang menjadi “kewajiban” suami. Yang dimaksud dengan peran domestik, adalah segala urusan renik-renik kerumahtanggaan, seperti memasak, mencucui baju, menyeterika, membersihkan rumah, mengurus anak, dan lain sebagainya. Sedangkan peran publik adalah hal yang terkait kemasyarakatan dan kegiatan atau pekerjaan di luar rumah.

Pertanyaannya adalah, apakah memang Islam mengatur sampai sangat detail urusan domestik keluarga? Apakah ada ketetapan syar’i bahwa seluruh peran domestik menjadi kewajiban  isteri, sehingga suami hanya sekedar membantu sekedarnya? Atau, bagaimanakah semestinya peran domestik ini dilaksanakan dalam kehidupan keluarga muslim?
Tulisan kecil ini hanya membahas tentang peran domestik, yang biasanya di masyarakat dilekatkan pada perempuan.

Contoh dari Nabi Saw dan Para Sahabat
Al Aswad bertanya kepada Aisyah, “Apakah yang dikerjakan Rasulullah saw di rumah?” Dia menjawab, “Beliau biasa dalam tugas sehari-hari keluarganya –yakni melayani keluarganya— maka apabila telah datang waktu shalat, beliau keluar untuk menunaikan shalat” (riwayat Bukhari). Al Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Dalam hadits itu terdapat anjuran untuk bersikap tawadhu dan tidak sombong, serta menganjurkan laki-laki untuk melayani isterinya”.

Dalam riwayat Ahmad, bahwa Aisyah ditanya, “Apakah yang dikerjakan Rasulullah saw di rumah?” Dia menjawab, “Beliau adalah seorang manusia biasa, membersihkan pakaiannya, memerah susu kambingnya dan melayani dirinya”. Demikianlah Rasulullah saw, beliau memberikan contoh keteladanan dalam mengerjakan kegiatan “domestik” kerumahtanggaan, dilandasi oleh kecintaan beliau terhadap seluruh keluarganya.

Al Hafizh Ibnu Hajar dalam kitab Fathul Bari menukilkan riwayat Ahmad, bahwa Ali berkata kepada Fatimah, “Demi Allah, aku selalu menimba air dari sumur sehingga dadaku terasa sakit”. Fatimah menjawab, “Dan aku, demi Allah, memutar penggiling hingga kedua tanganku melepuh”.
Pernyataan Ali dan Fatimah di atas menunjukkan, kedua belah pihak saling bekerja sama menyelesaikan pekerjaan “domestik” kerumahtanggaan. Mereka berdua telah bekerja sama dengan harmonis untuk menyelesaikan pekerjaan praktis di rumah.

Adz Dzahabi dalam kitab Al Kaba’ir dan Al Haitami dalam kitab Az Zawajir menceritakan bahwa suatu ketika seorang laki-laki mendatangi Umar ra untuk mengadukan perilaku isterinya. Ia menunggu Umar di depan pintu rumahnya. Tiba-tiba laki-laki tersebut mendengar isteri Umar sedang memarahinya, dan Umar diam saja tidak menanggapi. Laki-laki itu akhirnya pulang dan berkata dalam hatinya, “Jika keadaan Amirul Mukminin seperti itu, lalu bagaimana dengan saya?”
Tidak lama kemudian Umar keluar dan melihatnya berpaling. Umar memanggil laki-laki tersebut. “Apa keperluanmu?” tanya Umar.
“Wahai Amirul Mukminin, sebenarnya saya datang untuk mengadukan sikap dan perbuatan isteri saya kepada saya, namun saya mendengar hal yang sama pada isteri anda, akhirnya saya pulang dan berkata (dalam hati): Jika keadaan Amirul Mukminin seperti ini lalu bagaimana dengan saya?”
“Wahai saudaraku! Saya tetap sabar (atas perbuatannya), karena memang itu kewajiban saya. Isteri sayalah yang memasakkan makanan saya, membuatkan roti untuk saya, mencucikan pakaian, dan menyusui anak saya, sedang semua itu bukanlah kewajibannya. Disamping itu hati saya merasa tenang (untuk tidak melakukan perbuatan haram). Karena itulah saya tetap bersabar atas perbuatannya itu”, jawab Umar.
“Wahai Amirul Mukminin, isteri sayapun demikian”, kata laki-laki tersebut.
“Karena itu, bersabarlah wahai saudaraku. Ini hanya sebentar,” kata Umar.

Kisah di atas semakin memberikan sebuah perspektif yang jelas dalam relasi suami dan isteri menyangkut pekerjaan kerumahtanggaan. Dalam pandangan Umar bin Khathab, memasak makanan, membuat roti, mencuci baju suami, bukanlah kewajiban isteri. Umar melihat isterinya telah melakukan banyak kebaikan dengan melakukan kegiatan kerumahtanggaan untuk dirinya.

Pada kisah keluarga Asma’ binti Abu Bakar kita menemukan sebuah sisi kehidupan keluarga sahabat Nabi, dimana Asma’ mengerjakan seluruh pekerjaan kerumahtanggaan. Perhatikan penuturan Asma’ binti Abu Bakar berikut:
“Saya dinikahi oleh Az Zubair, sedang dia tidak mempunyai harta dan tidak mempunyai budak di muka bumi ini, dan tidak mempunyai sesuatu kecuali unta pengangkut air dan kudanya. Maka sayalah yang memberi makan kudanya, mengambil air, menjahit geribah (bejana tempat air), dan mengadoni roti. Saya tidak dapat membuat roti dengan baik, dan tetangga-tetanggaku dari kaum Anshar yang membuatkan roti, sedang mereka adalah wanita-wanita yang jujur”
“Saya membawa biji-biji kurma di atas kepala dari kebun Zubair yang diberi Rasulullah saw yang jaraknya sejauh duapertiga farsakh. Maka pada suatu hari saya datang dengan membawa biji-bijian di atas kepala, dan saya bertemu Rasulullah saw bersama dengan rombongan orang Anshar lalu beliau memanggil saya kemudian berkata, “Ekh…” untuk menghentikan untanya hendak memboncengkan saya di belakang beliau. Saya merasa malu berjalan bersama kaum laki-laki dan saya ceritakan tentang Zubair dan kecemburuannya bahwa dia adalah orang yang sangat pencemburu. Rasulullah saw mengetahui bahwa saya merasa malu, maka beliau berlalu”.

Setelah Asma’ bertemu suaminya, ia ceritakan pertemuan dengan Rasulullah saw dan rombongan tersebut, Az Zubair berkata, “Demi Allah, sesungguhnya engkau membawa biji-bijian itu lebih berat bagiku daripada engkau naik kendaraan bersama beliau”. Asma’ berkata, “Setelah itu Abu Bakar –bapakku—mengirimkan pelayan kepadaku sehingga aku tidak lagi mengurus kuda, seakan-akan dia telah memerdekakanku” (Riwayat Bukhari dan Muslim).

Pendapat Para Ulama
Dari kisah Asma’ di atas, dapat kita ketahui bahwa seluruh pekerjaan kerumahtanggaan dilaksanakan sendiri oleh Asma’. Ia mengadoni roti, mengambil air, mengambil kurma dari kebun, bahkan memberi makan kuda Zubair. Ketika mengomentari kisah Asma’ binti Abu Bakar yang melakukan semua pekerjaan kerumahtanggaan di rumah suaminya tersebut, Al Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari berkomentar:
“Tetapi yang menjadikan Asma’ bersabar melakukan hal itu ialah karena kesibukan suami dan ayahnya melaksanakan jihad dan sebagainya yang diperintahkan dan ditegakkan oleh Nabi saw; dan mereka tidak mempunyai kesempatan untuk melaksanakan urusan rumah tangga sendiri, serta tidak mempunyai kemampuan untuk mengambil pelayan”.
“Oleh karena itu,” lanjut Imam Al Hafizh, “diserahkanlah urusan itu kepada isteri-isteri mereka, maka isteri-isteri itulah yang menggantikan mereka mengurusi rumah tangga mereka agar dapat berjuang secara optimal dalam membela Islam, disamping tradisinya sendiri tidak menganggap yang demikian sebagai suatu cela”.
“Kisah ini,” lanjut Imam Al Hafizh, “telah dijadikan dalil untuk menetapkan bahwa wanita harus melakukan semua pelayanan yang dibutuhkan oleh suami, demikian pendapat Abu Tsaur. Akan tetapi ulama-ulama lain mengatakan bahwa yang demikian itu bagi wanita bersifat suka rela, bukan suatu keharusan, demikian pendapat Al Mahlab dan lain-lain. Namun yang jelas peristiwa ini dan yang semacamnya terjadi dalam kondisi darurat sebagaimana dijelaskan di muka. Oleh karena itu hukumnya tidak dapat diberlakukan bagi orang yang kondisinya tidak seperti itu”.

“Telah dijelaskan pula bahwa Fatimah, penghulu para wanita sedunia, mengadu karena tangannya melepuh akibat memutar penggiling, lalu ia meminta pembantu kepada ayahnya (yakni Nabi saw), kemudian Nabi menunjukkan kepada sesuatu yang lebih baik, yaitu berdzikir kepada Allah. Pendapat yang kuat ialah memberlakukan hal itu sesuai dengan kebiasaan negeri setempat, karena kebiasaan di satu negeri dalam hal ini berbeda dengan negeri lain”, demikian Imam penjelasan Al Hafizh.

Sedangkan Imam Nawawi berpendapat, “Semua ini termasuk kepatutan dan kelakuan yang dipraktikkan manusia, yaitu bahwa wanita melayani suaminya dengan hal-hal yang disebutkan itu dan sebagainya. Membuat roti, memasak, mencuci pakaian dan lain-lain, semua itu merupakan sumbangan dan kebaikan wanita kepada suaminya, pergaulan yang bagus, pergaulan yang makruf, yang tidak wajib sama sekali atasnya, bahkan seandainya ia tidak mau melaksanakannya, maka ia tidak berdosa“.

Ungkapan Imam Nawawi di atas dengan sangat jelas memberikan sebuah perspektif yang adil, bahwa pekerjaan praktis dalam rumah tangga bukanlah kewajiban bagi kaum wanita. Dengan demikian, membicarakan pembagian peran antara suami dan isteri sangat diperlukan, dengan bisa mempertimbangkan faktor kebiasaan masyarakat setempat sebagaimana komentar Imam Al Hafizh.

Pembagian Peran Berkeadilan
Tampak para ulama berbeda pendapat dalam memahami pekerjaan kerumahtanggaan apakah merupakan kewajiban isteri ataukah bukan kewajiban. Hal ini memberi petunjuk bahwa sesungguhnya Islam tidak memberi ketetapan secara detail dan pasti dalam masalah teknis kerumahtanggaan seperti memasak, mencuci, menyeterika, membersihkan rumah dan lain sebagainya. Islam menyerahkan penunaian kegiatan seperti itu kepada suami dan isteri, dengan mempertimbangkan kemaslahatan di dalamnya. Hendaknya dimusyawarahkan dan dibuat kesepakatan yang adil sehingga melegakan semua pihak.

Abdul Halim Abu Syuqah dalam Kitab Tahrirul Mar’ah fi Ashrir Risalah menjelaskan:
“Tanggung jawab wanita untuk mengurus urusan rumah, atau dengan ungkapan hadits, “Wal mar’atu ra’iyatun fi baiti zaujiha, wanita adalah pengelola dalam rumah tangga suaminya” bukan berarti bahwa dia harus melaksanakan sendiri semua tugas rumah tangga sejak menyiapkan makanan, mencuci pakaian, menyeterikanya, hingga membersihkan, mengatur dan memperindah rumah; tetapi yang dimaksud adalah bahwa semua ini merupakan tanggung jawabnya”.

“Adapun jika dia yang melaksanakan sendiri, melaksanakan sebagian, atau dilaksanakan orang lain seperti pembantu, anak-anak, kerabat atau suaminya sendiri, maka semua ini tergantung pada berbagai faktor, seperti kemampuan finansial, kesempatan dan sebagainya; baik itu isteri, suami maupun anak-anak. Juga tergantung pada kemampuan isteri untuk melaksanakannya dengan tidak mengabaikan tugas-tugas lain seperti merawat dan mendidik anak-anaknya, atau ikut andil dalam kegiatan-kegiatan yang mulia baik dalam bidang keilmuan maupun kemasyarakatan untuk memelihara kepribadian dan mengembangkannya”.

“Yang jelas, tidak terdapat penetapan dan penekanan yang pasti dari syara’ yang membebankan semua perkerjaan itu kepada wanita, melainkan kondisi keluargalah yang akan menentukan jalan yang tepat dan sesuai, disertai pengertian bahwa keteraturan dan sikap saling menolong di antara anggota keluarga merupakan faktor asasi dan vital dalam semua situasi dan kondisi, yang menjamin terselenggarakannya tugas-tugas rumah tangga dengan mudah dan gampang di satu sisi. Juga terluangkannya waktu bagi semuanya untuk melakukan kegiatan keilmuan, kemasyarakatan dan politik. Apalagi jika yang demikian itu dapat memberikan kesenangan dan kepuasan hatinya”, demikian penjelasan Abu Syuqah.

Bahkan Al Qurthubi ketika memberikan penjelasan ayat Allah, “wa ‘asyiruhunna bil ma’ruf, dan pergaulilah mereka secara makruf” menyebutkan, bahwa apabila isteri tidak cukup dengan seorang pembantu, maka suami berkewajiban mendatangkan pembantu sesuai dengan yang dibutuhkannya, seperti kalau isteri itu  putri Khalifah, raja dan sejenisnya yang tidak cukup dengan seorang pembantu. Cara seperti inilah yang disebut dengan mempergauli isteri secara makruf.
Imam Syafi’i dan Abu Hanifah berpendapat bahwa tidak ada kewajiban suami selain hanya mendatangkan seorang pembantu bagi isterinya. Alasannya, wanita sudah cukup melayani dirinya sendiri sehingga di dunia ini belum ada ceritanya seorang isteri memiliki lebih dari seorang pembantu.  Akan tetapi Al Qurthubi menolak pendapat Syafi’i dan Abu Hanifah tersebut. “Pendapat itu keliru, karena seperti putri-putri raja itu pasti mempunyai banyak pembantu, karena mereka tidak cukup dengan seorang pembantu. Mereka butuh orang yang khusus untuk mencuci pakaian, menyeterika, merapikan tempat tidur dan lain sebagainya. Semua itu tidak mungkin dapat dikerjakan oleh seorang pembantu. Pendapat ini jelas benarnya, wallahu a’lam,” tulis Al Qurthubi.

Daftar Bacaan
1. Abdul Halim Muhammad Abu Syuqah, Kebebasan Wanita, Gema Insani Press, Jakarta, 1999
2. Abdul Wahhab Hamudah, Manajemen Rumah Tangga Nabi Saw, Pustaka Hidayah, Bandung, 2002
3. Cahyadi Takariawan, Agar Cinta Menghiasi Rumah Tangga Kita, Era Intermedia, Solo, 2006
4. Cahyadi Takariawan, Menjadi Pasangan Paling Berbahagia, Sygma Media, Bandung, 2007
5. Jasim Badr Al Muthawwi, Menggapai Cinta Suami Isteri, Citra Islami Press, Solo, 1997
6. Muhammad Ash Shayim, Rumah Penuh Cahaya, Tiga Lentera Utama, Yogyakarta, 2000
7. Muhammad Rasyid Al Uwaiyyid, Pembebasan Perempuan, Izzan Pustaka, Yogyakarta, 2002
8. Muhammad Utsman Al Khusyt, Penyelesaian Problema Rumah Tangga secara Islami, Pustaka Mantiq, Solo, 1992

Tidak ada komentar:

Posting Komentar